Ahli pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII) Mahrus Ali dihadirkan sebagai saksi ahli meringankan oleh pihak Ferdy Sambo di sidang kasus pembunuhan Brigadir N Yosua Hutabarat. Dalam penjelasannya, Mahrus menyatakan tidak ada tersangka pembunuhan yang berstatus saksi pelaku atau justice collaborator (JC).
Hal itu disampaikan Mahrus saat menjadi saksi ahli meringankan yang dihadirkan untuk terdakwa mantan Kadiv Propam Polri Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi di PN Jaksel, Kamis (22/12/2022). Mulanya, pengacara Putri, Febri Diansyah, bertanya apakah dalam kasus pembunuhan berencana ini tersangka bisa mendapat status sebagai justice collaborator.
"Terkait justice collaborator, saya ingin menegaskan saja tadi kan Saudara Ahli sampaikan di sini riwayatnya dan pengaturannya untuk kejahatan luar biasa. Nah, pertanyaan sederhananya, apakah klausul justice collaborator ini bisa digunakan untuk Pasal 340 atau Pasal 338 (KUHP)?" tanya Febri.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mahrus mengatakan Pasal 28 UU Perlindungan Saksi dan Korban mengatur status justice collaborator hanya diberikan kepada pelaku tindak pidana tertentu. Dalam pasal tersebut, kata Mahrus, dijelaskan ada beberapa jenis perbuatan pidana beserta klausulnya.
"Persoalannya itu adalah karena di Pasal 28 itu kan JC itu hanya diberikan kepada pelaku tindak pidana tertentu di situ dijelaskan pelakunya kan banyak tuh jenisnya tindak pidananya, cuma di situ ada klausul yang umum lagi termasuk kejahatan-kejahatan lain yang ada potensi serangan dan itu harus berdasarkan keputusan," kata Mahrus.
Berikut ini isi Pasal 28 dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban:
Pasal 28 ayat (2)
(2) Perlindungan LPSK terhadap Saksi Pelaku diberikan dengan syarat sebagai berikut:
a. tindak pidana yang akan diungkap merupakan tindak pidana dalam kasus tertentu sesuai dengan keputusan LPSK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2);
b. sifat pentingnya keterangan yang diberikan oleh Saksi Pelaku dalam mengungkap suatu tindak pidana;
c. bukan sebagai pelaku utama dalam tindak pidana yang diungkapkannya;
d. kesediaan mengembalikan aset yang diperoleh dari tindak pidana yang dilakukan dan dinyatakan dalam pernyataan tertulis; dan
e. adanya Ancaman yang nyata atau kekhawatiran akan terjadinya Ancaman, tekanan secara fisik atau psikis terhadap Saksi Pelaku atau Keluarganya jika tindak pidana tersebut diungkap menurut keadaan yang sebenarnya.
Berdasarkan Pasal 28 ayat (2) huruf a disebutkan bila salah satu syaratnya adalah tindak pidana dalam kasus tertentu sesuai dengan keputusan LPSK yang merujuk pada Pasal 5 ayat (2) yang isinya adalah:
(2) Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Saksi dan/atau Korban tindak pidana dalam kasus tertentu sesuai dengan Keputusan LPSK.
Dalam penjelasan untuk Pasal 5 ayat (2) disebutkan sebagai berikut:
Penjelasan Pasal 5 ayat (2)
Yang dimaksud dengan "tindak pidana dalam kasus tertentu" antara lain, tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia yang berat, tindak pidana korupsi, tindak pidana pencucian uang, tindak pidana terorisme, tindak pidana perdagangan orang, tindak pidana narkotika, tindak pidana psikotropika, tindak pidana seksual terhadap anak, dan tindak pidana lain yang mengakibatkan posisi Saksi dan/atau Korban dihadapkan pada situasi yang sangat membahayakan jiwanya.
Kembali ke Mahrus, dia mengatakan pasal tersebut menjelaskan seorang tersangka bisa mendapat status justice collaborator sepanjang masuk jenis pidana kasus pencucian uang, korupsi, narkotika, dan kasus kekerasan seksual. Mahrus menyebut dalam kasus pembunuhan ini tidak ada tersangka yang bisa mendapat posisi sebagai justice collaborator.
"Dalam konteks ini, maka sepanjang tidak ada keputusan ya ikuti jenis tindak pidana itu, apa tadi pencucian uang, korupsi, narkotika, kemudian apalagi perdagangan orang, kekerasan seksual, pembunuhan tidak ada di situ," ujar Mahrus.
Simak selengkapnya di halaman selanjutnya.
Saksikan Video 'Kepribadian Sambo Cs Dikuak di Persidangan':