"Selain merusak citra kelembagaan KPK melalui segala kontroversinya, ternyata lembaga antirasuah itu, terutama pimpinannya, juga memiliki niat untuk merenggut hak rakyat untuk terlibat dalam proses pemilihan umum di daerahnya," kata peneliti ICW Kunia Ramadhana, dalam keterangannya, Kamis (15/12/2022).
"Kesimpulan ini tergambar jelas dari pernyataan Alexander Marwata yang mengusulkan agar meniadakan pilkada langsung di beberapa daerah, lalu diubah dengan mekanisme penunjukan kepala daerah dari pemerintah pusat. Bagi kami, pernyataan itu terlalu melompat dari permasalahan sebenarnya dan dangkal secara analisis," tuturnya.
ICW menyebut usulan pilkada tidak langsung tidak serta-merta dapat mengatasi pemberantasan korupsi. Justru, menurut ICW, hal itu membuka peluang terjadinya konflik kepentingan.
"Poin yang ingin kami tegaskan, pilkada tak langsung atau menggunakan mekanisme penunjukan tidak serta-merta mengatasi permasalahan korupsi. Hal itu justru membuka ruang terjadinya konflik kepentingan dan menguatnya isu nepotisme," sambungnya.
ICW menyoroti pernyataan Alex yang dinilai menyalahkan mekanisme pilkada langsung di tengah maraknya praktik korupsi yang dilakukan kepala daerah. Justru, menurut ICW, permasalahannya bukan pada pilkada langsung, melainkan pada ruang gelap pembiayaan kampanye, masifnya politik uang, dan rekrutmen partai politik.
"Untuk membenahi itu, solusinya bukan pilkada tak langsung, melainkan memperbaiki regulasi kepemiluan, melakukan sosialisasi anti-politik uang kepada masyarakat, memperkuat penegakan hukum, dan meningkatkan integritas partai politik," ujar Kurnia.
"Dengan menggunakan pernyataan Alex, mungkin logika yang sedang ia bangun: jika ada tikus di dalam rumah, maka rumahnya yang dibakar, bukan tikusnya yang ditangkap," sambungnya.
Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata menyatakan pemilihan kepala daerah selama ini tampak tidak efisien, khususnya di daerah-daerah yang masyarakatnya masih jauh tertinggal.
Menurutnya, selama ini pilkada memakan anggaran besar, namun kepala daerah yang terpilih justru kinerjanya buruk. Banyak juga yang terseret kasus korupsi.
Alex mengatakan pihaknya sudah berdiskusi dengan Kementerian Dalam Negeri, anggota DPR, hingga para pimpinan partai politik agar untuk beberapa daerah lebih baik tak melakukan pilkada. Daerah-daerah yang dimaksud, menurutnya, daerah yang masyarakatnya belum siap untuk melakukan pemilihan umum.
"Kita petakan, saya yakin jauh lebih efektif dan efisien ketika kepala daerah di beberapa daerah yang belum siap masyarakatnya pilkada langsung kepala daerahnya ditunjuk langsung," ungkap Alex dalam peringatan Hari Antikorupsi di Kementerian Keuangan yang disiarkan virtual, Selasa (13/12/2022).
Daerah yang dia maksud misalnya yang pendidikan masyarakatnya rendah, masih banyak gizi buruk, hingga fasilitas kesehatannya kurang baik. "Kita ada peta persoalan masalah di daerah, misal di timurlah masalah stunting, gizi buruk, pendidikan rendah, fasilitas kesehatan kurang baik, ada persoalan petanya," katanya.
Menurutnya, untuk gubernur atau kepala daerah lainnya dipilih langsung dari pusat. Skemanya bagaikan menunjuk manajer di sebuah di perusahaan saja. Digaji tiap bulan, diberikan tujuan untuk dicapai, bila tidak mampu mencapai tujuannya, dipecat dan digantikan orang lain.
Misal setahun tidak melakukan tugas dengan baik bisa langsung dipecat, tak perlu menunggu selama lima tahun alias satu periode.
"Tinggal tunjuk saja semacam manajer yang baik, gaji tiap bulan, Rp 500 juta misalnya. Nggak perform satu tahun, ganti, pecat. Sekarang, kalau nggak perform, lima tahun waktunya habis, sialnya dia kepilih lagi, 10 tahun duit habis masyarakat nggak sejahtera," ungkap Alex.
"Ini memang bukan persoalan KPK, tapi saya rasa ini persoalan kita bersama," pungkasnya.
(yld/dhn)