Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) memberikan beberapa catatan mengenai Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang saat ini sudah disahkan. Komnas HAM menyampaikan akan terus mengamati KUHP, khususnya dalam menangani kejahatan HAM berat.
"Kami ada beberapa catatan, khususnya terkait UU 26/2000 tentang Kejahatan Berat, khususnya genosida dan kemanusiaan yang masuk juga dalam KUHP itu. Ke depan, sejauh ini yang kita bicarakan bersama-sama adalah melakukan monitoring untuk memastikan bahwa khususnya kejahatan berat genosida dan kemanusiaan harus tetap menggunakan UU 26 Tahun 2000. Jadi kami akan melakukan monitoring itu," kata Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM Saurlin P Siagian kepada wartawan di gedung Perpustakaan DKI Jakarta, Menteng, Jakpus, Rabu (7/12/2022).
Saurlin mengatakan pihaknya akan terus memonitor terkait pengesahan KUHP tersebut. Sebab, menurutnya, banyak masukan dan kritik dari masyarakat sipil tentang UU tersebut.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Mungkin kami juga akan membuat semacam rilis resmi terkait tindakan yang akan dilakukan Komnas HAM terkait disahkannya KUHP ini. Tentu kita akan mengecek ya, monitoring apa yang harus kita lakukan. Karena saya kira banyak juga masukan dan kritik dari masyarakat sipil, tentu itu menjadi sesuatu yang akan kita diskusikan bersama-sama nanti di Komnas HAM," tuturnya.
Sebelumnya, Komnas HAM memberikan beberapa catatan mengenai Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang akan disahkan besok. Salah satunya, diaturnya genosida dan kejahatan kemanusiaan ke dalam RKUHP dapat melemahkan bobot kejahatan tindak pidana tersebut.
"Soal pelanggaran HAM berat berdasarkan analisis di Komnas HAM dalam RKUHP menyatakan bahwa pemidanaan penjara untuk pelanggaran HAM berat terutama untuk genosida dan juga kejahatan kemanusiaan sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang No 26 Tahun 2000, secara prinsip berbeda karena pelanggaran HAM yang berat dikenal dengan asas retroaktif dan juga asas prinsip yang tidak mengenal daluwarsa," ungkap Koordinator Subkomisi Pemajuan HAM Anis Hidayah kepada wartawan di Kantor Komnas HAM, Jakarta Pusat, Senin (5/12).
"Apabila asas retroaktif dan prinsip tidak mengenal daluwarsa, maka 15 peristiwa pelanggaran HAM berat yang sudah selesai dilakukan penyelidikan oleh Komnas HAM dianggap tidak ada, bahkan tidak pernah terjadi. Padahal secara fakta kita menemukan korban-korban atas peristiwa tersebut," lanjut Anis.
Dia khawatir peraturan tersebut dapat berkonsekuensi mengubah kejahatan luar biasa menjadi kejahatan biasa. Hal ini dinilai dapat mengaburkan sifat khusus dalam kejahatan tersebut dan dapat berpotensi menimbulkan kesulitan dalam melakukan penuntutan atau penyelesaian kejahatan.
"Mengaburkan sifat khusus yang ada dalam kejahatan tersebut, dapat berpotensi menimbulkan kesulitan dalam melakukan penuntutan atau penyelesaian kejahatan yang efektif. Ketidakjelasan atau ketidakpastian hukum dengan instrumen hukum lain yang membuat ketentuan pidana di luar KUHP, serta memiliki celah hukum. Jadi ini sangat jelas, kenapa kita menyatakan keberatan-keberatan dengan dimasukkannya tindak pidana berat dalam KUHP," ujarnya.
Selain itu dia mengatakan RKUHP masih mencantumkan hukuman mati sebagai bentuk pemidanaan alternatif sebagai upaya terakhir untuk mencegah tindak pidana.
"Kemudian juga yang kedua terkait dengan hukuman mati. Masih dicantumkannya hukuman mati sebagai bentuk pemidanaan alternatif untuk mencegah tindak pidana dalam rancangan pasal 67 dan 98. Ini bertentangan dengan Pasal 28A UUD 1945 Pasal 9, UU Nomor 9/1999 tentang Hak Asasi Manusia, pasal 6 Konvensi hak sipil dan politik. Meskipun demikian hukuman mati memberikan catatan kemajuan dalam KUHP yang baru, dimana hukuman mati bukan lagi merupakan hukuman pokok, namun pidana yang bersifat khusus untuk pidana tertentu dan ada pengaturan masa percobaan 10 tahun untuk merubah hukuman mati," ucapnya.
(idn/idn)