Akses merupakan persoalan yang terus dihadapi oleh difabel. Akses yang mudah sebanding dengan luasnya kesempatan yang akan mereka raih. Tidak menutup kemungkinan, prestasi yang mereka peroleh tidak akan kalah dengan masyarakat non-disabilitas. Dengan demikian, akses adalah kunci utama kesetaraan.
Sayangnya, akses memadai masih sulit ditemui oleh penyandang disabilitas. Karenanya, penyandang disabilitas sering dianggap tidak dapat berkontribusi di masyarakat. Ujungnya, praktik diskriminasi masih terjadi.
Mario Gultom, seorang entrepreneur melihat bahwa penyandang disabilitas seringkali jadi pihak yang harus beradaptasi dengan dunia non-disabilitas, bukan sebaliknya. Hal ini menyebabkan banyak keterbatasan pada pengembangan diri penyandang disabilitas dan berujung pada sulitnya mendapat pekerjaan. Hal-hal itulah yang akhirnya melatarbelakangi niat Mario untuk mendirikan Sunyi House of Coffee and Hope atau dikenal dengan Sunyi Coffee pada 2019 lalu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Waktu saya kuliah di 2016 dan waktu saya bikin idenya (mendirikan Sunyi Coffee) itu, saya coba ketemu dengan teman-teman difabel dan saya mendengar banyak cerita. Diskriminasi masih ada, masih banyak banget pelecehan, cari lapangan pekerjaan susah banget, dimusuhin masyarakat," kata Mario di program Sosok detikcom (6/11/22).
Baca juga: Kopi Sunyi Seduhan Para Difabel |
Persoalan ini juga diakui oleh salah satu barista di Sunyi Coffee, Monica. Sebelum bekerja di Sunyi Coffee, ia mengaku sulit mendapat pekerjaan karena kondisinya yang tidak bisa mendengar. Bahkan, saat mendapat pekerjaan pun, Monica sering merasa kesulitan karena kondisi lingkungan tidak berpihak kepadanya.
"Ya, aku punya masalah. Ada diskriminasi dan ketidakcocokan. Tidak ada kerja sama, tidak ada yang mau membantu aku. Komunikasinya nggak ada sama sekali, nggak enak," tutur Monica menggunakan bahasa isyarat.
Namun, hal itu tidak ia temui di Sunyi Coffee. Bekerja di sana, ia tidak merasa sebagai pegawai melainkan pengelola. Saat bekerja, ia tidak tidak perlu bersulit-sulit berkomunikasi dengan calon pembeli. Sebaliknya, Monica justru bisa mengajari bahasa isyarat kepada para konsumen. Dengan demikian, tidak hanya menikmati secangkir kopi, para pelanggan pun memperoleh tambahan wawasan dan pengalaman.
Monica mengaku senang bisa turut mengajarkan bahasa isyarat kepada pelanggannya. Ia juga sering merasa terhibur oleh ekspresi pelanggan saat belajar bahasa isyarat.
"Aku senang senang sebab orang-orang dengar mau belajar isyarat, supaya kami bisa komunikasi sama orang tuli. Ekspresi mereka itu lucu banget ketika belajar bahasa isyarat. Mukanya seperti bingung begitu tapi lucu," aku Monica.
Mario punya alasan mengapa Sunyi Coffee mengedukasi bahasa isyarat kepada pelanggan. Menurutnya, saat ini bahasa isyarat merupakan bahasa yang sedang diperjuangkan oleh penyandang tuli untuk berkomunikasi.
"Untuk customer sendiri memang mayoritasnya kami mengajarkan bahasa isyarat. Kenapa? Karena misalnya untuk tuna netra, pengajaran braille kita juga ada ini, ada tapi braille juga saat ini sudah dianggap sebagai sesuatu yang konvensional lah ya, kenapa? Karena teman-teman tunanetra juga sudah dibantu teknologi, ada Google Voice Assistant, dan lain-lain. Nah, jadi kalau untuk teman tuli ini masih memperjuangkan banget ini bahasa isyaratnya jadi saya ikut membantu memperjuangkannya," terang Mario.