Tempat itu bernama "Sunyi Coffee". Gagasan yang tercetus pada 2016 itu muncul dari Mario Gultom, pemuda yang tertarik dan ingin hidup berdampingan dengan para difabel. Idenya adalah membantu para difabel untuk berkarya di sana. Saat itu, ia berandai-andai, cafΓ© itu bukan hanya sekedar tempat bekerja bagi para penyandang disabilitas, melainkan wadah edukasi bagi masyarakat untuk belajar dan dekat dengan para difabel.
Sayangnya, tidak ada yang memiliki visi sama dengan inisiatif Mario. Ia kesulitan mencari orang yang mau menanamkan modal mereka, agar Sunyi Coffee bisa segera terealisasi.
"Nggak bisa, Mario. Konsep kamu nggak siap di Indonesia. Terlalu jauh Indonesia untuk menerima konsep kamu.", kata Mario menirukan reaksi rekan-rekannya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia paham, tidak banyak orang mau menyokong bisnis yang kurang populer. Apalagi, memperkerjakan para penyandang disabilitas yang mungkin akan menghambat operasional kerja. Namun, ini menjadi alasan utama Mario mengapa ia teguh dengan niatnya. Sebab, hal itu membuktikan bahwa masih banyak masyarakat yang mendiskreditkan kemampuan para penyandang difabel.
Semangat untuk memerdekakan sesama manusia terus dibawa Mario sepanjang hidupnya. Ketika ide bisnis kedai kopi ramah difabel yang ia ajukan ditolak berkali-kali oleh calon investor, ia memeras otak agar niat baiknya bisa segera berjalan.
Rasa kemanusiaan yang besar dalam diri Mario tidak tumbuh begitu saja. Sejak kecil, ia dibiasakan orang tuanya untuk berkunjung ke panti asuhan dan bertemu kawan-kawan dengan disabilitas. Keluarga Mario memiliki prinsip bahwa sesama manusia harus saling tolong menolong.
"Saya sendiri melihat bahwa yang merdeka itu siapa sih? Yang merdeka itu saya. Yang mungkin punya indranya lengkap, fisik saya lengkap, ada juga teman-teman disabilitas yang sampai saat ini itu masih berjuang karena mereka belum merdeka. Itu menjadi semangat untuk saya, bahwa sudah saatnya kita sebagai sesama manusia memerdekakan sesama manusia juga terutama ini mereka yang sedang berjuang. " jelas Mario di program Sosok detikcom (6/11/22).
Setelah tiga tahun mengumpulkan pundi-pundi rupiah sebagai modal membuka kedai kopi. Akhirnya, pada 4 April 2019, Mario serta beberapa temannya semasa kuliah mendririkan cabang pertama Sunyi House of Coffee and Hope di Jl. RS. Fatmawati Raya No.15, Jakarta Selatan.
Namun, rencana pendirian Sunyi House of Coffee and Hope atau Sunyi Coffee ini tentu bukannya tanpa persiapan matang. Mario harus memastikan bahwa kedai kopinya benar-benar bisa memberdayakan penyandang disabilitas.
Tidak hanya itu, Mario juga perlu memastikan bahwa pegawai Sunyi Coffee mendapatkan akses yang mereka butuhkan. Mulai dari penyesuaian alat dan ruang gerak, hingga penyediaan subtitle untuk video materi barista. Tidak ketinggalan, ia pun membekali diri dengan ilmu bahasa isyarat.
"Kalau kita menggunakan video pembelajaran kopi, ya kita harus bikin subtitle dong, supaya teman-teman yang tuli bisa membaca. Untuk teman-teman yang tuna daksa atau yang mungkin ada masalah mobilitas, ya tentunya kita harus bikin bar yang lebar, lalu mesin kopi kita juga harus ubah supaya bisa dioperasikan dengan satu tangan atau mereka yang di kursi roda. Jadi, barnya sudah kita atur tingginya, mesinnya kita sudah atur untuk bisa dioperasikan. Jadi kita berikan akses saja sih, supaya mereka bisa memberikan output, yang ternyata di luar ekspektasi kita," terang Mario.
Sunyi Coffee juga menjadi tempat edukasi tentang disabilitas terhadap masyarakat. Pelanggan diarahkan untuk mengikuti pola komunikasi pegawai di Sunyi Coffee. Pelanggan bisa memesan dengan bahasa isyarat sesuai dengan instruksi yang tertera di dekat kasir. Selain itu, pelanggan juga bisa belajar bahasa isyarat langsung dengan para barista.
Salah satu pelanggan Sunyi Coffee, Karenina, mengaku bahwa pengalaman pertamanya ke kedai kopi ini cukup mengesankan. Meski ia tak pernah belajar bahasa isyarat, namun ia tak merasa terlalu kesulitan saat memesan kopi di Sunyi Coffee.
"Kelihatannya menarik banget, pas kita pesannya pun juga karena ini ide yang sangat baru. Terus mereka kan disini menawari untuk belajar ya, itu juga ada rasa tertarik untuk bisa bahasa isyarat gitu," terang Karenina
Selain itu, barista Sunyi Coffee yang ramah juga menjadi faktor Karenina merasa nyaman di kunjungan pertamanya ini.
"Dari kita pesannya pun, orangnya (barista, red) ramah, dari tadi pas membawa minuman pun juga sangat ramah, begitu, minumannya pun juga enak. Kemungkinan besar akan kembali ke sini lagi," kata Karenina.
Keramahan barista Sunyi Coffee senada dengan tujuan Mario yang ingin menyuguhkan wajah disabilitas yang ceria dan penuh keramahan. Mario sadar betul bahwa seringkali orang non-disabilitas justru mengeksploitasi pegawai disabilitas dengan memanfaatkan komponen kesedihan.
"Kami tidak pernah sedikitpun (menggunakan) kesedihan. Kenapa? Karena itu jadinya eksploitatif. Nanti ujung-ujungnya juga saya akan dimusuhi juga oleh komunitas disabilitas. Karena mereka selalu bilang, 'Mario, saya bukan pengemis. Tolong beri kemampuan panggung terhadap kemampuan saya, bukan kekurangan saya,'" jelas Mario.
Pada akhirnya, Sunyi Coffee memang bukan sekadar kedai kopi. Sunyi Coffee juga adalah wadah berkarya para penyandang disabilitas. Dengan akses dan dukungan yang memadai, penyandang disabilitas juga bisa memberikan hasil maksimal dalam pekerjaan yang dilakoni.