Indonesian Corruption Watch (ICW) buka suara terkait pernyataan Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron yang mengaku lembaga antirasuah itu terbuka untuk mengkaji penggunaan restorative justice dalam tindak pidana korupsi. ICW menilai pernyataan tersebut tidak konsisten.
Peneliti ICW Kurnia Ramadhana menyebut pernyataan Ghufron itu berbanding terbalik dengan pernyataannya yang menilai restorative justice tak dapat diterapkan dalam kasus korupsi. Kala itu, Ghufron menolak langkah jaksa agung soal konsep restorative justice Rp 50 juta.
"Pernyataan Pak Nurul Ghufron terkait KPK yang saat ini sedang mengkaji mengenai restorative justice korupsi pun semakin memperlihatkan sikap mencla-mencle seorang pimpinan KPK. Betapa tidak, Januari lalu secara eksplisit pak Ghufron menolak langkah Jaksa Agung tentang konsep restorative justice korupsi Rp 50 juta. Namun saat ini malah mengatakan sebaliknya dengan berdalih sedang mengkaji konsep tersebut," kata Kurnia Ramadhana kepada detikcom, Minggu (30/10/2022).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain itu, dia menyinggung soal ide Wakil Ketua KPK yang baru, Johanis Tanak soal hal serupa. Menurutnya, Johanis Tanak semestinya memahami kondisi gawat darurat pemberantasan korupsi di Indonesia.
"Indeks Persepsi Korupsi saja tak kunjung mengalami peningkatan yang signifikan. Salah satu sumber persoalannya sudah barang tentu menyangkut aspek penegakan hukum sehingga tak tepat jika restorative justice diterapkan untuk mengatasi tindak pidana korupsi. Alih-alih membaik, bisa jadi dengan ide Pak Johanis itu para koruptor semakin bersemangat untuk melakukan praktik korupsi," ujar dia.
Kurnia menyarankan agar Johanis Tanak mengusulkan soal Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) dengan muatan implementasi dari mandat Konvensi PBB melawan korupsi. Dia menyarankan Tanak untuk perbaikan delik korupsi di Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).
"Jauh lebih baik pak Johanis mengusulkan perbaikan UU Tipikor dengan muatan implementasi atas mandat Konvensi PBB Melawan Korupsi, mulai dari perdagangan pengaruh, illicit enrichment, dan korupsi sektor swasta. Atau, Pak Johanis dapat mewacanakan perbaikan delik korupsi di dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang mana seluruh substansinya menguntungkan koruptor, ketimbang menggembar gemborkan restorative justice korupsi," tutur Kurnia.
Dia menyampaikan, sejatinya UU Tipikor dari 2001 hingga saat ini belum dilakukan perubahan. Menurutnya, seluruh pasal di dalam undang-undang tersebut masih eksis dan tidak bisa disimpangi.
"Berkenaan dengan hal tersebut, jika dibaca lebih detail, Pasal 4 UU Tipikor sebenarnya sudah mengatakan bahwa mengembalikan kerugian keuangan negara tidak menghapus pidana. Jadi, dalam kaitan ini, konsep restorative justice untuk delik korupsi secara hukum jelas tidak bisa dilakukan," terangnya.
Selain itu, berdasarkan kajian ICW soal tren Vonis 2021, kata Kurnia, rata-rata koruptor di persidangan hanya divonis 3 tahun 5 bulan penjara dengan UU Tipikor. Dia menuding, jika restorative justice diterapkan, bukan tak mungkin masa pidana terpidana korupsi dapat lebih ringan.
"Dengan menggunakan UU Tipikor yang di dalamnya memuat pemidanaan penjara saja hukumannya masih rendah, apalagi ditambah mekanisme restorative justice, tentu pelaku akan semakin diuntungkan dan masyarakat sebagai korban tak kunjung mendapat keadilan," tutup Kurnia.
KPK sebut masih kaji. Simak di halaman selanjutnya.
Saksikan juga 'Momen Presiden Jokowi Lantik Johanis Tanak Jadi Wakil Ketua KPK':
KPK Sebut Masih Kaji
Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron menyebut hingga kini lembaga antirasuah itu masih terus mengkaji soal penerapan restorative justice kasus korupsi. Pembahasan itu, kata dia, menjadi salah upaya penyelesaian dalam pemberantasan korupsi.
"Sampai saat ini kami masih melakukan kajian tentang penerapan restorative justice pada tindak pidana korupsi. Ini adalah proses pencarian bentuk bagaimana agar proses hukum itu benar-benar menyelesaikan masalah bangsa ini dari tindak pidana korupsi," kata Ghufron dalam keterangannya, Jumat (28/10).
Dia mengatakan konsep restorative justice dalam tindak pidana korupsi tentunya berbeda dengan pidana umum. Misalnya, menurut dia, pelaku korupsi yang biasanya bersifat komunal atau lebih dari satu tersangka.
"Sehingga, melihat tindak pidana korupsi tidak hanya selalu menggunakan sudut pandang kerugian keuangan negara saja. Lebih dari itu, korupsi memberikan dampak kerugian besar bagi rakyat yang dilakukan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab dengan menyalahgunakan wewenang atau jabatan yang dimiliki," ucapnya