Eks Ketua Tim Teknis Pengadaan Penerapan KTP Elektronik (e-KTP) Husni Fahmi dan eks Direktur Utama Perum (Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI) Isnu Edhi Wijaya dituntut lima tahun penjara dan denda Rp 300 juta subsider enam bulan. Keduanya terjerat kasus korupsi e-KTP yang menjerat eks Ketua DPR Setya Novanto.
"Menyatakan terdakwa secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dalam dakwaan kedua Penuntut Umum," kata Jaksa KPK Surya Tanjung, Senin (17/10/2022).
"Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa dengan pidana penjara selama 5 tahun dan denda sejumlah Rp 300.000.000,00 subsidiair pidana kurungan pengganti selama 6 bulan kurungan," tambahnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam kesempatan itu, Jaksa juga menyampaikan hal yang meringankan terhadap Husni Fahmi. Jaksa menyebut Husni Fahmi telah mengembalikan seluruh uang hasil korupsi sebanyak USD 20.000.
"Husni Fahmi telah mengembalikan seluruh uang hasil korupsi yang diperolehnya, yaitu USD 20.000," terang Surya.
Baca juga: Babak Baru Perkara Korupsi e-KTP di KPK |
Sementara itu, Surya juga menyampaikan hal yang meringankan bagi Isnu. Dia mengatakan Isnu belum menikmati hasil korupsi lantaran rekeningnya disita lebih dulu oleh KPK.
"Isnu Edhi Wijaya belum sempat menikmati hasil korupsi hasil keuntungan atas proyek e-KTP karena uang yang berada di rekening Manajemen Bersama sudah disita oleh KPK," tuturnya.
Sebelumnya, Mantan Direktur Utama Perum Percetakan Negara Republik (PNRI) Isnu Edhi Wijaya didakwa merugikan negara Rp 2,3 triliun terkait proyek e-KTP. Jaksa juga mengatakan Husni memperkaya sejumlah orang salah satunya mantan Ketua DPR Setya Novanto dkk.
Selain Isnu, Ketua Tim Teknis Teknologi Informasi Penerapan e-KTP Husni Fahmi juga didakwa dalam sidang ini.
"Bahwa Terdakwa I Husni Fahmi dan Terdakwa II Isnu Edhi Wijaya memperkaya diri sendiri yaitu memperkaya terdakwa I Husni Fahmi sejumlah USD 20 ribu atau oramg lain yaitu memperkaya Andi Agustinus alias Andi Narogong, Setya Novanto, Irman, Sugiharto, Diah Anggraeni, Drajat Wisnu Setyawan, Wahyudin Bagenda, Johanes Marliem, atau suatu korporasi yaitu memperkaya korporasi Perum PNRI dan perusahaan anggota konsorsium PNRI lainnya yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara yaitu merugikan keuangan negara sejumlah Rp 2.314.904.234.275,39 (Rp 2,3 triliun)," ujar jaksa KPK di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (23/6/2022).
Simak selengkapnya di halaman selanjutnya.
Anang Sugiana Sudihardjo selaku Direktur Utama PT Quadra Solution, Irman selaku mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Sugiharto selaku mantan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Disdukcapil serta Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan (PIAK).
Kemudian Paulus Tannos selaku Direktur Utama PT Sandipala Arthaputra, Diah Anggraeni selaku mantan Sekretaris Jenderal Kemendagri, dan Drajat Wisnu Setyawan selaku ketua panitia pengadaan barang/ jasa di lingkungan Disdukcapil Kemendagri pada suatu waktu antara Januari 2010 dan Desember 2013.
Berikut ini rincian penerimaan uang yang diterima Husni, Isnu serta Setya Novanto dkk:
- Terdakwa I Husni Fahmi sejumlah USD 20 ribu dan memperkaya korporasi, yaitu Perum PNRI sejumlah Rp 107.710.849.102 (Rp 107 miliar) dan perusahaan anggota konsorsium PNRI lainnya diantaranya PT Quadra Solution sejumlah Rp 79 miliar yang merupakan perusahaan milik Anang Sugiana sejumlah Rp 145.851.156.022 (Rp 145 miliar) dan Manajemen Bersama Konsorsium PNRI sejumlah Rp 137.989.835.260 (Rp 137 miliar)
- Andi Narogong sejumlah USD 1.499.241 (Rp 1,4 juta)
- Johanes Marliem sejumlah USD 14,880 juta dan Rp 25.242.546.892 (Rp 25 miliar)
- Wahyuddin Bagenda Rp 2 miliar
- Irman Rp 2.371.250.000 (Rp 2,3 miliar) USD 877.700 dan SGD 6.000
- Diah Anggraeni sejumlah USD 500 ribu dan Rp 22,5 juta
- Sugiharto sejumlah USD 3.473.830 (Rp 3 juta)
- Drajat Wisnu sejumlah USD 40 ribu dan Rp 25 juta
- Setya Novanto sejumlah USD 7,3 juta dan 1 buah jam tangan merk Richard Mille seri RM 011 seharga USD 135 ribu.
Atas dasar itu, Husni dan Isnu didakwa melanggar Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.