UUD 1945 membentuk Komisi Yudisial (KY) dan memberikan amanat mengawal yudikatif. Dari konsep itu lalu diturunkan oleh DPR menjadi UU KY. Salah satunya berhak mengawasi hakim agung dan hakim konstitusi. Namun apa daya, MK membatalkan sejumlah kewenangan KY itu.
Pemohon adalah hakim yang meminta kekuasaan KY dikerdilkan, yaitu 34 hakim agung. Di antaranya Paulus Effendi Lotulung, Andi Syamsu Alam, Akhmad Kamil, Abdul Kadir Mappong, Iskandar Kamil, Harifin Tumpa, Muchsin, Valerine JLK, Dirwoto, Abdurrahman, Mansur Kertayasa, Rehngena Purba, Hakim Nyak Pha, Hamdan, Imron Anwari, M Taufiq, Imam Harijadi, Abbas Said, Djoko Sarwoko, Atja Sondjaja, Imam Soebchi, dan Marina Sidabutar. Siapa nyana, MK mengabulkan dan memutuskan KY tidak berwenang mengawasi hakim konstitusi.
"Dalam perkembangannya, terdapat beberapa Putusan MK yang turut mempersempit kewenangan KY. Misalnya, Putusan MK No. 005/PUU-IV/2006 yang menganulir kewenangan KY dalam melakukan pengawasan terhadap Hakim Konstitusi," kata jubir KY Miko Ginting kepada wartawan, Senin (10/9/2022).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Padahal, KY diberikan amanat oleh UUD 1945 secara langsung untuk mengawasi lembaga peradilan.
"Dari waktu ke waktu, saya kita tidak bisa dielakkan bahwa peran KY semakin sempit. Jika kita mengacu pada risalah pembentukan KY melalui amandemen ketiga UUD 1945, jelas sekali terlihat bahwa KY diproyeksikan untuk mengemban peran yang sangat luas dan substansial untuk mengusulkan pengangkatan hakim maupun menjaga kemandirian hakim, terutama melalui peran pengawasan," kata Miko Ginting.
DPR tidak diam. Pada 2011, DPR kembali menguatkan peran KY dengan membolehkan ikut menyeleksi hakim tingkat pertama. Baik calon hakim Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama dan Pengadilan Tata Usaha Negara. Harapannya, bila calon hakim baik dan berkualitas, maka akan menghasilkan output hakim yang berintegritas dan pengadilan menjadi bersih. Tapi fungsi KY yang strategis itu kembali dilumpuhkan oleh MK pada 2015.
"Putusan MK No. 43/PUU-XIII/2015 yang menihilkan peran KY dalam seleksi hakim di tingkat pertama," tegas Miko Ginting.
Menghadapi berbagai putusan MK itu, parlemen terus memutar otak mencari jalan agar KY kuat sehingga bisa mengawasi yudikatif. Salah satunya dengan memasukkan anggota KY dalam mengawasi hakim MK. Seperti dalam Perppu Penyelamatan MK dan UU MK tahun 2020. Dalam UU MK terbaru itu, satu perwakilan KY duduk sebagai anggota Majelis Kehormatan MK.
Tapi lagi-lagi, peran KY kembali diberangus MK lewat putusannya. Perppu Penyelamatan MK dibatalkan seluruhnya dan kewenangan KY mengawasi di UU MK juga dibatalkan.
"Terkini, Putusan No. 56/PUU-XX/2022 yang melepaskan keikutsertaan KY dalam Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi," kata Miko Ginting tegas.
Dari berbagai putusan itu, KY mengaku kecewa dengan sikap MK tersebut. MK sebagai penjaga konstitusi, harusnya ikut memperkuat sistem peradilan dan bukan melemahkannya.
"Dampak beberapa putusan MK tersebut jelas terkait langsung dengan peran KY dalam menjaga kemandirian hakim dan peradilan. Namun, yang paling terasa adalah dampaknya pada mental personil KY, terlebih khusus pride pada profesi yang diemban. Begitu juga pada persepsi publik yang semakin hari semakin mempertanyakan relevansi KY, padahal ada persoalan kewenangan yang memang tidak sebesar dan seluas yang diekspektasikan publik," beber Miko Ginting.
Lihat juga video 'Potensi Sanksi yang Dihadapi Sudrajad Dimyati dari Komisi Yudisial':