Peran Mahkamah Konstitusi (MK) dalam berbagai konflik konstitusional dibahas dalam rangkaian Kongres MK sedunia di Bali, The 5th Indonesian Constitutional Court International Symposium (ICCIS). Salah satunya diceritakan delegasi Turki, Belanda, dan Indonesia.
Hakim MK Turki, Engin Yildirim, menyajikan makalah berjudul 'The Turkish Constitutional Court in the State of Emergency Period (2016-2018)'. Yildirim menjelaskan keberadaan MK Turki saat terjadinya keadaan darurat di Turki pada 2016-2018. Pada masa-masa tersebut, Engin Yildirim mengungkapkan tugas berat dari MK Turki adalah sebagai badan penyeimbang pemerintahan dalam mengatasi ancaman terhadap sistem konstitusional dan perlindungan hak-hak dasar masyarakat selama keadaan darurat tersebut. MK Turki yang ditugaskan mewujudkan supremasi konstitusi dan menjaga ketertiban konstitusi, justru memiliki fungsi yang rumit dan krusial dalam memenuhi fungsinya tersebut.
"MK Turki masa itu tak hanya melaksanakan tugas perlindungan hak warga negara, tetapi juga sebagai benteng atas kebebasan yang diharapkan atas kebijakan pemerintah. Selama keadaan darurat itu, pengadilan memiliki kekuasaan terbatas, khususnya dalam meninjau tindakan dan kegiatan kekuasaan eksekutif. Hal ini sebenarnya di luar kekuasaan pengadilan, namun lagi-lagi peradilan dalam hak ini harus memastikan otoritas negara harus tetap bertindak dalam batas-batas konstitusional dan undang-undang," ungkap Yildirim yang hadir bersama Woo-Young Rhee dari Seoul National University School of Law, Korea, dan Luthfi Widagdo Eddyono dari MKRI.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sedangkan Michail Vagias dari Universitas Hague Belanda sebagai pembicara menjelaskan terkait 'Amnesties and Peace Building - a dialogue of the deaf between constitutional and international courts?'. Ia mengutarakan tentang fungsi dari MK dalam memberikan penafsiran terhadap amnesti dengan beberapa kriteria yang didasarkan pada kasus per kasus. Dalam contoh kasus ini, Michail mengangkat tentang perang saudara yang dihadapi El Savador dan perjanjian-perjanjian perdamaian yang dilakukan guna mengakhiri perang dan membuka jalan bagi perdamaian. Dalam sebuah butir perjanjian tersebut dibentuk sebuah komisi yang bertugas menyelidiki tindak kekerasan serius yang terjadi sejak 1980 dan dampaknya terhadap masyarakat. Dalam tugasnya, komisi ini menemukan nama-nama pihak yang dinilai bertanggung jawab atas perang saudara tersebut.
"Namun persoalan hukum ini tak dapat dilanjutkan karena Presiden Salvador dan partai yang ada di negara tersebut mengadopsi undang-undang yang memberikan amnesti menyeluruh pada seluruh pihak yang dinilai terlibat dalam tindakan kekerasan serius pada masa 1980-an tersebut. Adopsi undang-undang amnesti yang dilakukan oleh pemerintah saat itu dinilai telah gagal mematuhi kewajiban internasional El Salvador sebagaimana ketentuan Perjanjian Perdamaian dan Konvensi Amerika tentang Hak Asasi Manusia," jelas Michail.
Pembicara terakhir pada simposium hari pertama, Andy Omara dari Universitas Gadjah Mada, memaparkan 'The Unintended Consequences of the Indonesian Constitutional Court Ruling on the Truth and Reconciliation Commission Law'. Omara menyebutkan salah satu peran MKRI adalah melakukan uji konstitusionalitas terhadap konstitusi. Pada makalahnya, Omara membahas tentang pengujian UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi 27/2004 (UU KKR) yang diajukan dan diputuskan oleh MKRI.
Pada hakikatnya, undang-undang tersebut bertujuan menyelesaikan peristiwa politik masa lalu, yakni G30/S PKI pada 1965. Singkatnya, Omara menceritakan dampak dari kejadian tersebut beberapa orang Indonesia yang diduga secara langsung atau tidak langsung memiliki hubungan dengan PKI mengalami diskriminasi. Akibatnya mereka mendapatkan keterbarasan akses dalam bidang politik dan memperoleh pekerjaan. Terkait hal ini, pengujian pernah dilakukan pada 2004 dan 2006 yang pada intinya para Pemohon berpendapat beberapa ketentuan dalam UU KKR bertentangan dengan konstitusi. Oleh karena itu, mereka meminta MKRI membatalkan ketentuan tersebut.
Atas hal ini, sambung Omara, MKRI mengambil langkah dengan membatalkan UU KKR secara keseluruhan. Dalam pandangan Omara, putusan MKRI tersebut menunjukkan iktikad baik untuk mewujudkan penyelesaian pelanggaran HAM yang adil dan adil dengan menguatkan permohonan yang menunjukkan beberapa ketentuan yang menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan. Namun Omara melihat putusan MKRI yang membatalkan UU KKR secara keseluruhan tersebut kemungkinan besar tidak akan membangun perlakuan yang adil dan tidak diskriminatif.
"Dalam hal ini, peradilan tak hanya melakukan uji terhadap undang-undang dan hasil akhir dari yang yang diputuskannya, namun juga perlu bagi kita memperhatikan keterbatasan dari kewenangan lembaga (dalam hal ini MK) itulah kemudian membuatnya hanya dapat melakukan pengujian secara normatif," jelas Omara.
Simposium internasional ini akan dilaksanakan selama dua hari (Rabu-Kamis, 5-6/10/2022) dan menjadi bagian tak terpisahkan dari rangkaian kegiatan dari The 5th World Congress of Constitutional Justice (WCCJ). Pada ICCIS Ke-5 ini, MKRI mengajak para akademisi, praktisi, dan peneliti hukum untuk berdiskusi tentang berbagai perspektif wacana dalam memperkuat peran Mahkamah Konstitusi. Adapun topik yang menjadi bahasan para pemakalah di antaranya 'Constitutional Interpretation relating to Peace and Reconciliation'; 'The Role of Constitutional Courts in Adjudicating Cases relating to Social and Political Conflicts'; 'The protection of Human Rights and Democracy by the Constitutional Courts to Settle Conflicts'; dan 'Constitutional Courts as Mediators in Armed Conflict and Civil-Military Relations'.
(asp/yld)