57 tahun berlalu, peristiwa berdarah 30 September 1965 masih menyisakan sejumlah misteri. Salah satunya yang misterius adalah peran Ketua Biro Chusus PKI, Sjam Kamaruzaman.
Dikutip dari buku 'Sjam Lelaki dengan Lima Alias' yang ditulis oleh Tim Majalah Tempo, Sjam adalah satu dari lima orang yang ikut rapat dalam persiapan operasi penculikan tujuh jenderal TNI AD. Adapun empat sisanya adalah Supono Marsudidjojo (Asisten Sjam di Biro Chusus), Kolonel Abdul Latief
(Komandan Garnisun Kodam Jaya), Letkol Untung (Komandan Batalion Pasukan Pengawal Presiden Cakrabirawa), dan Mayor Sujono (Komandan Resimen Pasukan Pertahanan Pangkalan di Halim).
Rapat perencanaan tersebut langsung dipimpin Sjam. Inisiatif soal gerakan ini sendiri datang dari Ketua Umum Comite Central PKI, Dipa Nusantara Aidit yang baru pulang dari China pada Agustus 1965. Aidit saat itu galau karena mengetahui kondisi Soekarno yang sedang sakit-sakitan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Aidit takut situasi ini justru akan dimanfaatkan oleh para pimpinan TNI AD untuk merebut kekuasaan. Aidit pun langsung meminta bantuan Sjam yang juga merupakan tangan kanannya. Sjam diminta Aidit untuk melakukan gerakan terbatas yang nantinya dikenal sebagai Gerakan 30 S PKI.
Gerak Cepat Sjam
Sjam bergerak cepat. Dua hari setelah bertemu dengan Aidit, dia mengumpulkan dua asistennya, Pono dan Bono, di rumahnya di Salemba Tengah, Jakarta Pusat. Tiga perwira menengah TNI menjadi kandidat utama pelaksana 'operasi terbatas' Aidit. Mereka adalah Kolonel Abdul Latief, Letkol Untung, dan Mayor Soejono.
Rapat persiapan dilakukan sampai sepuluh kali. Lokasinya berganti-ganti: rumah Sjam, Kolonel Latief, atau kediaman Kapten Wahyudi. Sasaran operasi terbatas PKI baru ditentukan pada 26 September 1965. Tim pelaksana menentukan ada 10 tokoh antikomunis yang harus "diamankan".
Selain tujuh nama jenderal TNI Angkatan Darat yang sudah umum diketahui, Sjam mengusulkan penculikan mantan Wakil Presiden Mohammad Hatta, Wakil Perdana Menteri III Chairul Saleh, dan Jenderal Soekendro. Aidit yang mencoret tiga nama terakhir.
Kendati demikian, gerakan ini gagal dan langsung bisa diredam setelah tujuh orang gugur. Mereka adalah Anumerta Ahmad Yani, Letjen M.T. Haryono, Letjen Anumerta Raden Suprapto, Letjen Anumerta Siswondo Parman, Mayjen Anumerta Donald Ignatius Panjaitan, Mayjen Anumerta Sutoyo Siswomiharjo, dan Kapten Anumerta Pierre Andreas Tendean. Setelah gerakan gagal, Sjam kabur ke Jawa Barat. Sedangkan Aidit tewas dieksekusi pada 22 November 1965 di Boyolali.
Simak juga 'Lukas Tumiso, Eks Tapol Penyintas Pulau Buru':
Sosok Misterius Sjam
Setelah sempat menghilang, Sjam akhirnya muncul dua tahun setelah gerakan gagal. Pada Juli 1967, ia menjadi saksi bagi Sekjen PKI Sudisman. Ia pun akhirnya sempat dipenjara di LP Cipinang.
Ada pun saat diinterogasi oleh polisi militer, Sjam setidaknya memiliki lima nama alias Sjam: Djimin, Sjamsudin, Ali Mochtar, Ali Sastra, dan Karman. Ketika menulis surat perpisahan untuk adiknya, Latifah, setahun sebelum dieksekusi pada 1986, Sjam menandatangani surat itu dengan nama Rusman.
Sementara itu, menurut kawan Sjam, Hamim yang sempat dipenjara di Cipinang, Sjam adalah seorang pengkhianat. Baginya, omongan Sjam tidak bisa dipegang. Selain itu, Hamim mengatakan bahwa Sjam dieksekusi pada 1986.
Namun hingga kini sosok Sjam masih misterius. Kematiannya menjadi misteri. Tak ada kuburan penanda jasadnya. Bahkan keluarganya tak pernah diberi tahu perihal jenazah atau kuburnya. Selain itu, peran Sjam dalam PKI dan lobi-lobinya dengan tentara juga masih misterius.