Kawasan reklamasi Pulau G kini resmi ditetapkan oleh Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan sebagai zona ambang. Nantinya, Pulau G akan dimanfaatkan menjadi kawasan permukiman.
Penetapan Pulau G untuk nantinya dimanfaatkan sebagai kawasan permukiman dilakukan melalui perjalanan panjang. Kawasan reklamasi itu pernah 'disegel' nelayan, digugat, diubah nama, hingga akhirnya ditetapkan sebagai zona ambang.
Sebagai informasi, berdasarkan Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 31 Tahun 2022 tentang Rencana Detail Tata Ruang (RDTR), zona ambang adalah zona yang diambangkan pemanfaatan ruangnya dan penetapan peruntukan didasarkan pada kecenderungan perubahan/perkembangannya, atau sampai ada penelitian/pengkajian mengenai pemanfaatan ruang yang paling tepat.
Berikut perjalanan panjang reklamasi Pulau G yang dirangkum detikcom:
1995
Awal Mula Proyek Reklamasi
Kembali ke Pulau G, proses reklamasi kawasan tersebut berawal dari Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta dan Perda Nomor 8 Tahun 1995. Kendati demikian aturan di era pemerintahan Presiden Soeharto itu mendapat banyak tentangan.
2003
Ditentang Kementerian Lingkungan Hidup
Dalam perjalanannya, pembangunan reklamasi terhenti di era Presiden Megawati Soekarnoputri. Melalui kajian Kementerian Lingkungan Hidup pada 2003, lahirlah Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No 14 Tahun 2003 tentang Ketidaklayakan Rencana Kegiatan Reklamasi dan Revitalisasi Pantai Utara Jakarta yang menyebutkan bahwa Menteri Lingkungan Hidup meminta agar amdal disempurnakan. Rupanya amdal belum dapat diterima dan reklamasi tidak dapat dilaksanakan sampai dinyatakan layak.
Namun, SK Menteri Lingkungan Hidup itu kandas di Mahkamah Agung setelah enam perusahaan pengembang mengajukan peninjauan kembali.
2012
SBY Setujui Reklamasi Dilanjutkan
Meskipun hal itu ditentang banyak pihak, Presiden ke-6 Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyetujui dilanjutkannya pembangunan proyek reklamasi. Pada 5 Desember 2012, SBY meneken Peraturan Presiden Nomor 122 Tahun 2012 tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
Foke Keluarkan Pergub Pengembangan 17 Pulau Buatan
Kala itu, Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo juga mengeluarkan Peraturan Gubernur Nomor 121 Tahun 2012 tentang Penataan Ruang Kawasan Reklamasi Pantura Jakarta pada September 2012 untuk mengembangkan 17 pulau buatan di Teluk Jakarta, sebulan sebelum pria yang akrab disapa Foke itu lengser.
17 pulau buatan itu dinamakan sesuai huruf, dari Pulau A hingga Pulau Q, termasuk juga Pulau G yang dalam pergub itu tercatat seluas 161 hektare.
2014
Ahok Beri Izin Reklamasi Pulau G, F, I, K
Pada 23 Desember 2014, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama meneken Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 2238 Tahun 2014 tentang Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau G kepada PT Muara Wisesa Samudra.
Dengan kepgub tersebut, anak usaha PT Agung Podomoro Land Tbk itu mulai dapat melaksanakan kegiatan reklamasi Pulau G (Pluit City). Dalam kepgub itu juga diatur syarat bahwa PT Muara Wisesa Samudra wajib memberikan kontribusi lahan seluas 5 persen kepada Pemprov DKI Jakarta. Selain izin reklamasi Pulau G, Ahok juga memberikan izin reklamasi Pulau F, I, dan K.
2016
Nelayan 'Segel' Pulau G
Proyek Reklamasi Teluk Jakarta ini terus mendapat protes. Protes datang dari anggota DPRD DKI Jakarta hingga para nelayan.
Pada April 2016, nelayan bahkan 'menyegel' Pulau G. Saat itu, Pulau G yang bisa ditempuh dalam 20-30 menit dari Pelabuhan Muara Angke masih dalam kondisi proses pengerasan pasir untuk dijadikan sebagai lahan bangunan.
Para nelayan Muara Angke kala itu menuntut agar proses reklamasi dihentikan selamanya bukan dihentikan sementara. Para nelayan merasa dirugikan dengan keberadaan pulau-pulau buatan di Teluk Jakarta. Akibat adanya proses reklamasi, pendapatan mereka menurun drastis.
Simak juga 'Proyek Reklamasi Disetop, Anies: Tepat Kurangi Dampak Land Subsidence':
(mae/fjp)