Peneliti Ungkap Overkapasitas Lapas Capai 109%, 1 Petugas Tangani 53 Napi

Mulia Budi - detikNews
Rabu, 21 Sep 2022 19:39 WIB
Ilustrasi (Foto: ANTARA FOTO/Oky Lukmansyah)
Jakarta -

Peneliti Center of Detention Studies (CDS) Ali Aranoval mengungkap hunian lapas di Indonesia sudah melebihi kapasitas. Ali mengatakan kondisi itu membuat 1 petugas di lapas harus menangani 53 narapidana.

"Sedangkan kalau kita lihat perbandingan petugas dengan narapidana yang kemarin kami hitung adalah 1 berbanding 53. Jadi 1 orang petugas harus menangani 53 narapidana dengan kondisi yang saat ini," kata Ali Aranoval dalam acara diskusi INLU 2022 di Hotel JS Luwansa, Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu (21/9/2022).

Ali mengatakan pihaknya tahun lalu memprediksi kelebihan kapasitas hunian lapas pada 2022 mencapai 104 persen. Dia menuturkan prediksi itu telah terbukti.

"Dari penelitian CDS untuk penelitian prediktif. Periode 2021 overcrowding sudah mencapai 93 persen kemudian CDS memprediksi 2022, 104 persen, dan kita lihat sekarang prediksi CDS itu sudah terlampaui sudah 109 persen sekarang overkapasitas penjara kita," ujarnya.

Dia mengatakan kelebihan kapasitas hunian lapas itu akan terus meningkat jika tak ada upaya pembatasan. Dia memprediksi, pada 2025, kelebihan kapasitas lapas akan mencapai 136 persen.

"2023 CDS memprediksi akan penuh 115 persen kelebihan overcrowding, kalau tidak ada upaya upaya untuk pembatasan, 2024, 175 persen dan akan terus naik sampai 2025 sekitar 136 persen," tuturnya.

Dampak Negatif Overkapasitas Lapas

Ali Aranoval menyebut kelebihan kapasitas hunian penjara atau lapas akan menimbulkan sejumlah dampak negatif. Salah satunya adalah terus membengkaknya anggaran pengeluaran untuk kebutuhan lapas.

"Dampak overcrowding ternyata sangat berpengaruh banyak ke dalam sistem dan pelaksanaan tugas permasyarakatan dan itu kalau kita lihat akan ada banyak efek snowball agar pemerintah terus menerus mengeluarkan anggaran yang cukup besar, mulai dari penambahan petugas, penambahan sarana hunian, penambahan alat-alat keamanan, alat-alat kesehatan, kebutuhan obat dan segala macam kebutuhan yang berhubungan dengan kebutuhan narapidana. Ini kalau dilihat dari dampak kebutuhan," kata Ali Aranoval.

Ali mengatakan kondisi lapas yang sesak juga bisa memicu munculnya gangguan keamanan hingga kerusuhan. Dia menyebut pembinaan para napi juga tak akan maksimal lantaran jumlah petugas yang lebih sedikit.

"Kalau dari dampak kondisi di dalam akan terjadi banyak gangguan kerusuhan, gangguan kamtib, pembinaan yang berjalan tidak maksimal karena jumlah orang banyak jumlah petugas sedikit dan anggaran tidak mencukupi," ujarnya.

Kemudian, dia menjelaskan dampak negatif lainnya adalah pada kualitas kesehatan para napi. Dia mengaku pernah mendengar ucapan napi dilarang sakit lantaran tidak adanya anggaran yang cukup.

"Kemudian kualitas kesehatan akan menurun, standar gizi, karena kadang-kadang negara tidak punya uang untuk cukup bahkan beberapa tahun yang lalu kita pernah sedih mendengarkan salah seorang direktorat jenderal menyatakan narapidana dilarang sakit karena anggaran tidak ada," ucapnya.

Lebih lanjut, dia mengatakan keamanan di dalam lapas juga berpotensi terganggu jika melebihi kapasitas. Dia pun kemudian memberi contoh kasus kebakaran lapas di Tanggerang.

"Dan yang terakhir adalah aspek safety, kalau kita tidak serius berupaya untuk mengurangi hunian di dalam penjara, kalau anggaran kita belum cukup safety, dan kita lihat misalnya kejadian terakhir di Tanggerang sekitar 40 an narapidana meninggal karena kasus kebakaran," ujarnya.

Ali menuturkan Ditjen Pas telah melakukan sejumlah upaya untuk mengurangi kelebihan kapasitas lapas. Menurutnya, optimalisasi penerapan pidana bersyarat juga dapat mengurai kelebihan kapasitas lapas tersebut.

"Pertama dengan ikut serta dalam mendukung program restorative justice dengan penguatan kelembagaan dan penguatan fungsi di bapas, kemudian membuat terobosan di dalam konteks asimilasi. Kalau bapak ibu kemarin sempat dengar ada asimilasi rumah pada saat COVID, itu adalah salah satu strategi dirjen untuk mengurangi hunian. Kemudian ada hak-hak integrasi mulai dari pembebasan bersyarat, kemudian cuti bersyarat, cuti menjelang bebas dan kemudian ada remisi dan grasi dan terakhir adalah penambahan ruang hunian," tutur Ali.

"Yang menarik adalah belum dicobanya jalur terkait dengan optimalisasi pidana percobaan atau pidana bersyarat. Ini sangat menarik dan ketika delegasi Belanda sampai kerja sama dengan Indonesia, kita kok berfikir bahwa probation sebenernya bisa menjadi salah satu pintu masuk untuk dapat mengurai atau mengurangi tingkat kepadatan hunian yang ada di dalam penjara," tambahnya.




(lir/lir)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork