Anggota Komisi III DPR RI, Arsul Sani, menilai tidak ada unsur politis dalam kasus dugaan korupsi yang menjerat Gubernur Papua Lukas Enembe sebagai tersangka. Dia meminta kasus itu diproses sesuai dengan aturan.
"Saya melihat kasus Lukas Enembe itu merupakan kasus hukum, tidak ada unsur politisnya. Nah, karena ini kasus hukum, maka ya proses hukum sebagaimana lazimnya perlu dijalankan," ucap Arsul kepada wartawan, Selasa (20/9/2022).
Arsul kemudian berbicara soal adanya demo dari simpatisan Lukas Enembe yang menolak Gubernur Papua itu diproses hukum. Dia mengatakan KPK tak boleh berhenti menangani suatu perkara gara-gara ada demo.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tentu penegak hukum dalam hal ini juga perlu berkoordinasi dengan aparatur keamanan dan bahkan jika perlu dengan backup TNI jika proses penegakan hukum itu mendapat resistensi dari kelompok masyarakat tertentu di Papua," ucapnya.
"Memang perlu juga pendekatan bijak terhadap resistensi semacam itu dalam konteks Papua. Namun yang jelas tidak bisa kemudian karena resistensi tersebut menjadikan proses penegakan hukum mandek," tambahnya.
Dia meminta KPK berfokus membuktikan kasus korupsi Lukas Enembe. Dia juga mengingatkan KPK agar tak mengurusi dugaan rekening kasino Lukas Enembe kecuali hal itu terkait dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU).
"Karena kasusnya menyangkut tipikor (tindak pidana korupsi), maka fokus KPK sebagai penegak hukumnya adalah membuktikan tipikornya. Hal yang menyangkut tindak pidana lain seperti perjudian sementara tidak menjadi fokus dulu, apalagi itu bukan wewenang KPK, kecuali jika sudah menyangkut TPPU," ujarnya.
Lukas Enembe Tersangka KPK
Kabar Lukas Enembe menjadi tersangka KPK pertama kali disampaikan oleh koordinator kuasa hukumnya, yakni Stefanus Roy Rening. Dia menerima surat KPK yang menyatakan Lukas Enembe resmi jadi tersangka sejak 5 September 2022.
"Saya mendapat informasi bahwa perkara ini sudah penyidikan, itu artinya sudah ada tersangka. Ada surat dari KPK, 5 September, Bapak Gubernur sudah jadi tersangka, padahal Pak Gubernur sama sekali belum didengar keterangannya," kata Roy saat itu.
KPK diketahui telah mengirim surat panggilan kepada Lukas Enembe pada 7 September 2022. Namun, dalam panggilan itu, Lukas mengirimkan kuasa hukumnya.
Simak Video 'Kala Papua Memanas Usai Lukas Enembe Jadi Tersangka Korupsi':
Dugaan Duit Lukas Enembe ke Kasino
Sementara itu, PPATK menyampaikan hasil analisis transaksi keuangan terkait Lukas Enembe yang kini berstatus tersangka di KPK. PPATK menemukan transaksi setoran tunai kasino judi menyangkut Lukas Enembe.
"Sejak 2017 sampai hari ini, PPATK sudah menyampaikan hasil analisis, 12 hasil analisis kepada KPK," kata Ketua PPATK Ivan Yustiavandana, Senin (19/9/2022).
Variasi kasusnya adalah adanya setoran tunai atau ada setoran dari pihak lain. Menurut Ivan, angkanya miliaran sampai ratusan miliar rupiah.
"Salah satu hasil analisis itu adalah terkait dengan transaksi setoran tunai yang bersangkutan di kasino judi senilai USD 55 juta, atau Rp 560 miliar itu setoran tunai dalam periode tertentu," ujarnya.
Demo Pendukung Lukas Enembe di Papua
Massa simpatisan Gubernur Papua Lukas Enembe dari sejumlah daerah berusaha masuk ke kota Jayapura, Papua. Mereka hendak menyampaikan dukungan kepada Lukas Enembe yang berstatus tersangka di KPK.
Massa simpatisan Lukas Enembe ini diketahui menggunakan mobil pribadi, truk, sepeda motor, bahkan dengan berjalan kaki. Mereka bergerak memasuki Kota Jayapura sejak pukul 08.49 WIT, Selasa (20/9).
Beberapa titik kumpul massa sempat diblokade aparat keamanan guna menghindari penumpukan massa. Akibatnya, massa simpatisan Lukas Enembe dari Sentani ditahan di Lapangan Theys, massa dari Kamp Wolker ditahan di depan kampus Universitas Cenderawasih (Uncen).
Kemudian massa dari Abepura ditahan di Lingkaran Abepura, sedangkan massa yang berkumpul di Expo Waena melakukan orasi sambil meneriakkan penolakan terhadap KPK di Papua. Seorang orator aksi di lokasi menyampaikan penolakan masyarakat Papua terhadap penetapan tersangka Gubernur Lukas Enembe oleh KPK. Penetapan tersangka tersebut dianggap bentuk kriminalisasi tokoh Papua.