Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengatakan tidak akan melakukan penjemputan paksa terhadap Lukas Enembe. Langkah ini karena mengingat situasi Papua yang sedang memanas.
"Kita lihat situasi, enggak mungkin kan kita paksakan (penjemputan) kalau situasi seperti itu," kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata saat jumpa pers di Kemenko Polhukam, Senin (19/9/2022).
"Kita tidak ingin ada pertumpahan darah atau kerusuhan sebagai akibat dari upaya (jemput paksa) yang kita lakukan," imbuhnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebagai informasi, kabar Lukas Enembe menjadi tersangka KPK pertama kali disampaikan oleh koordinator kuasa hukumnya, yakni Stefanus Roy Rening. Dia menerima surat KPK yang menyatakan Lukas Enembe resmi jadi tersangka sejak 5 September 2022.
"Saya mendapat informasi bahwa perkara ini sudah penyidikan, itu artinya sudah ada tersangka. Ada surat dari KPK, 5 September Bapak Gubernur sudah jadi tersangka, padahal Pak Gubernur sama sekali belum didengar keterangannya," kata Roy saat itu.
KPK diketahui telah mengirim surat panggilan kepada Lukas Enembe pada 7 September 2022. Namun, dalam panggilan itu, Lukas mengirimkan kuasa hukumnya.
Sebelumnya, KPK menepis tudingan adanya upaya kriminalisasi dalam perkara korupsi Gubernur Papua Lukas Enembe. KPK memastikan punya minimal dua alat bukti cukup untuk menjerat Lukas.
"KPK membenarkan tengah melakukan kegiatan penyidikan di wilayah Provinsi Papua. Kami memastikan bahwa setiap perkara yang naik ke tahap penyidikan, KPK telah memiliki minimal dua alat bukti yang cukup," kata Kabag Pemberitaan KPK Ali Fikri kepada wartawan, Senin (19/9).
"Alat bukti dimaksud bisa diperoleh dari keterangan saksi, ahli, terdakwa, surat, ataupun petunjuk lainnya sesuai ketentuan hukum acara pidana," lanjutnya.
Ali menegaskan KPK tidak memiliki kepentingan selain murni menegakkan hukum sebagai tindak lanjut laporan masyarakat.
(yld/yld)