Aliansi Dorong Kewarganegaraan Ganda karena 76% Negara Respon Positif

Aliansi Dorong Kewarganegaraan Ganda karena 76% Negara Respon Positif

Andi Saputra - detikNews
Senin, 19 Sep 2022 10:32 WIB
APAB
Webinar APAB (Screenshoot Youtube)
Jakarta -

Ketua Aliansi Pelangi Antar Bangsa (APAB), Nia Schumacher, menilai sudah saatnya Indonesia menerapkan prinsip kewarganegaraan ganda. Namun ide itu tidak mudah dilaksanakan karena banyak pertimbangan.

"Sampai dengan tahun 2020, 76 persen negara di dunia sudah memiliki respon yang positif terhadap pendekatan kewarganegaraan ganda (double citizenship) dan mengizinkan warga negaranya untuk memiliki kewarganegaraan dari negara lain tanpa menghilangkan kewarganegaraan dari negara asalnya," kata Nia kepada wartawan, Senin (19/9/2022).

Pada saat ini, kata Nia, lebih dari 130 negara menerima atau mentolerir kewarganegaraan ganda dalam berbagai macam bentuk. Peningkatan tersebut telah terjadi sebagai akibat dari migrasi serta peningkatan transformasi kewarganegaraan secara gender-neutral (karena makin banyak negara telah mencabut undang-undang yang hanya memperbolehkan perolehan kewarganegaraan melalui patrilineal descent).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Dengan demikian, anak hasil perkawinan campuran semakin banyak dan anak-anak ini secara otomatis memiliki kewarganegaraan dari orang tuanya," tegas Nia.

Bagi anak-anak ini, kewarganegaraan ganda merupakan hak asasi manusia. Nia mengutip Peter J. Spiro (2010) yang menyebutkan bahwa memaksa anak hasil perkawinan campuran untuk memilih salah satu dari kewarganegaraan yang dianut kedua orang tuanya dapat mempengaruhi otonomi individu terhadap identitas mereka serta hubungan mereka dengan kedua orang tuanya yang berbeda kewarganegaraan.

ADVERTISEMENT

"Namun demikian, tidak semua negara memiliki peraturan perundang-undangan atau pola kewarganegaraan yang memadai untuk mengakomodasi kebutuhan terhadap kewarganegaraan ganda," ujar Nia.

Padahal pada saat yang bersamaan, kata Nia, makin banyak di antaranya mulai mengakui potensi diasporanya untuk berkontribusi kepada negara secara ekonomi, budaya dan politik. Dengan mengakui dan mendukung kewarganegaraan ganda, negara tidak hanya memenuhi hak individu warga negara, namun juga ikut mendukung perkembangan negara agar semakin mengglobal dan membuka kesempatan untuk membangun hubungan dengan negara lain yang dapat meningkatkan kerjasama antar negara baik dari segi ekonomi, sosial, budaya dan politik.

"Indonesia menjadi salah satu negara yang menghadapi tantangan ini. Cukup banyak WNI di Indonesia baik laki-laki maupun perempuan yang menikah dengan pasangan berbeda kewarganegaraan. Cukup banyak juga diantaranya yang kemudian memiliki keturunan, kemudian bersama pasangan non-WNI nya memilih tinggal menetap di Indonesia," tutur Nia.

Kenyataan ini menjadi tantangan tersendiri sebab sampai kini perundang-undangan di Indonesia belum akomodatif untuk pemohon kewarganegaraan ganda. Terkecuali untuk anak-anak yang berusia sampai dengan 18 tahun, dengan masa toleransi sampai usia 21 tahun.

Politik hukum kewarganegaraan tunggal yang dianut oleh Indonesia saat ini menurut Nia Schumacher, belum memberikan perlindungan bagi keluarga perkawinan campuran, seperti halnya keluarga Indonesia pada umumnya.

"Seperti mayoritas negara di dunia saat ini telah memberlakukan kewarganegaraan ganda bagi Keluarga Perkawinan Campuran, maka selayaknya Indonesia memberi perlindungan bagi keluarga perkawinan campuran dengan penerapan azas kewarganegaraan ganda," kata Nia menegaskan pendapatnya.

Lihat juga video 'Imparsial Sebut Cabut Kewarganegaraan WNI eks ISIS Bukan Solusi':

[Gambas:Video 20detik]



Sementara itu, menurut Dosen Hukum Perdata Internasional FH UI, Tiurma Mangihut Pitta Allagan melihat dalam persepektif yang berbeda. Jika dilihat ini dari kacamata Hukum Perdata Internasional (HPI), maka kewarganegaraan ini sebagai salah satu titik taut penentu yang menunjuk hukum yang berlaku pada pribadi kodrati untuk menentukan status personalnya. Termasuk di dalamnya perlindungan diberikan oleh negara yang memberikan kewarganegaraan. Mengingat pada definisi kewarganegaraan, maka menurutnya kewarganegaraan ganda terbatas itu sebenarnya sudah memberikan suatu opsi yang sangat baik.

"Hanya persoalannya bagaimana memilihnya? Karena kewarganegaraan tidak hanya memilih soal status personal, hak, dan kewajiban, atau kewajiban pembayaran pajak, tapi kita harus melihat genuine link-nya kemana? Perasaannya lebih dekat ke negara yang mana. Hal ini yang menjadi persoalan," ungkap Tiurma.

Terkait dengan pertanyaan apakah politik hukum kewarganegaraan tunggal sudah cukup melindungi wargany?

"Sebenarnya cukup," kata Tiurma.

Namun pada akhirnya jika dibandingkan dengan negara lain, maka timbul pertanyaan 'saya dapat apa ya? Apakah saya akan mendapat lebih jika menjadi warga negara di sana?'

"Inilah yang menyebabkan perasaannya menjadi berubah. Ini bukan membicarakan perlindungan, tetapi berbicara yang manakah yang lebih memberi hal positif yang lebih," urai Tiur.

Di sisi lain, mantan anggota DPR Fahri Hamzah menilai kasus di atas adalah peristiwa kemanusiaan sehinga negara harus memberikan perlindungan didalamnya. Hal ini sejalan dengan Sila 1, Sila 2 Pancasila dan tujuan dalam bernegara melindungi segenap bangsa Indonesia.

"Saya tidak melihat kita harus seperti negara lain yang memiliki kewarganegaraan ganda itu harus otomatis, hal ini tidak harus sekarang paling tidak pada peristiwa-peristiwa kemanusiaan. Adanya peristiwa kemanusiaan harus dilindungi oleh negara disebabkan merupakan pendirian dari konstitusional kita dan pendirian Pancasila, standar demokrasi kita tinggi sekali, karena kita mau menjadi negara kelas dunia," ujar Fahri.

Dari pihak pemerintah, Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (Dirjen AHU) Kemenkumham Cahyo Rahadian Muzhar, mengakui bahwa salah satu hal yang mempengaruhi adanya kebutuhan kewarganegaraan ganda adalah banyaknya migrasi warga negara akibat globalisasi ke negara yang memiliki sistem kewarganegaraan yang berbeda. Namun apakah Indonesia sudah saatnya mengakui kenegaraan ganda, masih butuh proses dan tidak serta mesta.

"Patut untuk kita embrace atau manfaatkan terlepas dari kita tidak menutup kemungkinan adanya kewarganegaraan ganda di Indonesia," ujar Cahyo.

Cahyo mengapreasiasi organisasi yang concern terhadap isu ini juga terus melakukan diskusi, memberikan argumentasi mengenai manfaat yang ada dari kewarganegaraan ganda. Sebab diskusi masih membahas kepentingan-kepentingan individu dan keluarga saja. Cahyo mengajak untuk mulai mendiskusikan manfaatnya bagi pembangunan negara serta perekonomian bangsa dan negara.

"Jika kewarganegaraan ganda memberi lebih banyak manfaat bagi Indonesia, mengapa tidak?" ujar Cahyo mengakhiri pemaparannya.

Pendapat di atas juga disampaikan dalam Webinar Kewarganegaraan Ganda Seri 4 'Politik Hukum Kewarganegaraan Tunggal Dikaitkan dengan Tren Global: Cukupkah Memberikan Perlindungan untuk Warganya?' yang disiarkan di YouTube. Webinar ini adalah kerjasama antara Puska Kessos LPPSP FISIP UI dan APAB.

Halaman 3 dari 2
(asp/zap)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads