Ketua Aliansi Pelangi Antar Bangsa (APAB), Nia Schumacher, menilai sudah saatnya Indonesia menerapkan prinsip kewarganegaraan ganda. Namun ide itu tidak mudah dilaksanakan karena banyak pertimbangan.
"Sampai dengan tahun 2020, 76 persen negara di dunia sudah memiliki respon yang positif terhadap pendekatan kewarganegaraan ganda (double citizenship) dan mengizinkan warga negaranya untuk memiliki kewarganegaraan dari negara lain tanpa menghilangkan kewarganegaraan dari negara asalnya," kata Nia kepada wartawan, Senin (19/9/2022).
Pada saat ini, kata Nia, lebih dari 130 negara menerima atau mentolerir kewarganegaraan ganda dalam berbagai macam bentuk. Peningkatan tersebut telah terjadi sebagai akibat dari migrasi serta peningkatan transformasi kewarganegaraan secara gender-neutral (karena makin banyak negara telah mencabut undang-undang yang hanya memperbolehkan perolehan kewarganegaraan melalui patrilineal descent).
"Dengan demikian, anak hasil perkawinan campuran semakin banyak dan anak-anak ini secara otomatis memiliki kewarganegaraan dari orang tuanya," tegas Nia.
Bagi anak-anak ini, kewarganegaraan ganda merupakan hak asasi manusia. Nia mengutip Peter J. Spiro (2010) yang menyebutkan bahwa memaksa anak hasil perkawinan campuran untuk memilih salah satu dari kewarganegaraan yang dianut kedua orang tuanya dapat mempengaruhi otonomi individu terhadap identitas mereka serta hubungan mereka dengan kedua orang tuanya yang berbeda kewarganegaraan.
"Namun demikian, tidak semua negara memiliki peraturan perundang-undangan atau pola kewarganegaraan yang memadai untuk mengakomodasi kebutuhan terhadap kewarganegaraan ganda," ujar Nia.
Padahal pada saat yang bersamaan, kata Nia, makin banyak di antaranya mulai mengakui potensi diasporanya untuk berkontribusi kepada negara secara ekonomi, budaya dan politik. Dengan mengakui dan mendukung kewarganegaraan ganda, negara tidak hanya memenuhi hak individu warga negara, namun juga ikut mendukung perkembangan negara agar semakin mengglobal dan membuka kesempatan untuk membangun hubungan dengan negara lain yang dapat meningkatkan kerjasama antar negara baik dari segi ekonomi, sosial, budaya dan politik.
"Indonesia menjadi salah satu negara yang menghadapi tantangan ini. Cukup banyak WNI di Indonesia baik laki-laki maupun perempuan yang menikah dengan pasangan berbeda kewarganegaraan. Cukup banyak juga diantaranya yang kemudian memiliki keturunan, kemudian bersama pasangan non-WNI nya memilih tinggal menetap di Indonesia," tutur Nia.
Kenyataan ini menjadi tantangan tersendiri sebab sampai kini perundang-undangan di Indonesia belum akomodatif untuk pemohon kewarganegaraan ganda. Terkecuali untuk anak-anak yang berusia sampai dengan 18 tahun, dengan masa toleransi sampai usia 21 tahun.
Politik hukum kewarganegaraan tunggal yang dianut oleh Indonesia saat ini menurut Nia Schumacher, belum memberikan perlindungan bagi keluarga perkawinan campuran, seperti halnya keluarga Indonesia pada umumnya.
"Seperti mayoritas negara di dunia saat ini telah memberlakukan kewarganegaraan ganda bagi Keluarga Perkawinan Campuran, maka selayaknya Indonesia memberi perlindungan bagi keluarga perkawinan campuran dengan penerapan azas kewarganegaraan ganda," kata Nia menegaskan pendapatnya.
Lihat juga video 'Imparsial Sebut Cabut Kewarganegaraan WNI eks ISIS Bukan Solusi':
(asp/zap)