Komisi X DPR RI menyoroti kasus sebuah SMA Negeri di Kota Bekasi disebut melakukan pungutan liar (pungli) lewat pengumpulan sumbangan dari orang tua (ortu) siswa. Kasus serupa juga diduga terjadi di sekolah-sekolah lainnya.
Ketua Komisi X DPR Syaiful Huda merasa prihatin atas munculnya kasus yang akar masalahnya dari Peraturan Menteri 44 tahun 2022 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Pengelolaan Pengujian Pendidikan. Menurutnya, dengan pungutan tersebut berpotensi terjadi penyelewengan dana.
"Saya kira ini tidak boleh terjadi karena itu Kemendikbud harus secepatnya mengkoordinasikan ini dan jangan-jangan Permendikbud pelonggaran proses pembiayaan itu diimplementasikan berbeda di tiap sekolah dan itu beresiko terjadi penyelewengan itu. Karena itu, sambil dilakukan evaluasi saya setuju sementara ini dihentikan," kata Huda kepada wartawan, Sabtu (17/9/2022).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain berpotensi ada penyelewengan, Huda juga menilai dengan metode pungutan terhadap orang tua siswa itu akan menimbulkan perlakuan diskriminatif terhadap siswa dari pihak sekolah. Perlakuan yang tidak setara terhadap siswa di sekolah itu dinilai sangat berbahaya.
"Jadi potensi kebocorannya akan tinggi kalau model begini dan potensi ada perlakukan diskriminatif terjadi, perlakuan yang tidak setara anta siswa akan terjadi ini dikaitkan dengan orang tua yang ikut berpartisipasi dan tidak. Lalu direfleksikan dalam proses pembelajaran, itu bahaya," ucapnya.
Lebih lanjut, Huda mendorong pemerintah untuk memastikan komitmen Presiden Joko Widodo (Jokowi) soal 20 persen anggaran pendidikan harus betul-betul konkret aturan turunannya. Menurutnya, Kemendikbud harus mengelola lebih banyak lagi dana dari total anggaran pendidikan setiap tahunnya agar bisa terkontrol pemakaiannya oleh Komisi X DPR.
"Apa bentuk konkretnya? Misalnya selama ini Kemendikbud hanya mengelola Rp 80 triliun dari Rp 600 triliun, kalau mau sebagai bentuk konkret sepenuhnya ini untuk fungsi pendidikan paling nggak Rp 200-300 triliun dikelola Kemendikbud. Di Kemenag nanti berapa dari 600 triliun itu, itu saya kira akan bisa mengurai benang kusut menyangkut soal partisipasi pembiayaan yang melibatkan orang tua siswa," ujarnya.
"Selama ini begini, Rp 80 triliun Kemendikbud, Rp 43 triliun Kemenag, nyebar ke semua KL (Kementerian/Lembaga) yang punya sekolah-sekolah kedinasan besar juga nyampe hampir Rp 30 (triliun) juga lebih. Sisanya hampir Rp 350 triliun menjadi transfer daerah berbentuk DAK fisik dan DAK non fisik pendidikan," tambahnya.
Diduga Sudah Banyak Tejadi di Sekolah Lain
Senada dengan Huda, Wakil Ketua Komisi X DPR Abdul Fikri Faqih juga menilai pungutan terhadap orang tua siswa itu menjadi masalah karena anggaran pendidikan hanya dialokasikan sebagian kecil untuk bidang pendidikan.
"Ini akibat dari 20% APBN anggaran pendidikan kita hanya sebagian kecil yang dialokasikan untuk bidang pendidikan, terutama di instansi yang bertanggung jawab pada urusan pemerintah bidang pendidikan, Kemendikbudristek. Malah tersebar ke berbagai sektor, sehingga sarpras pendidikan agar memadai sesuai tuntutan kurikulum ya akhirnya harus ada partisipasi masyarakat lewat Komite sekolah yang kemudian disebut pungutan," jelasnya.
Dia menyebut jika tidak diikuti dengan kebijakan anggaran yang memadai, maka kasus seperti di SMA Negeri Bekasi akan meluas ke sekolah-sekolah di seluruh penjuru negeri. Dia menduga praktik pungutan sekolah ke orang tua siswa itu sudah banyak terjadi di sekolah lainnya.
"Praktik seperti di Bekasi ini hanya contoh kasus yang muncul dan terkuak ke permukaan. Jangan-jangan di banyak tempat juga melakukan hal yang sama meski tak terekspose," imbuhnya.
Simak juga Video: Viral Pungli Modus Buka Tutup Portal Jalan di Bogor
SMA di Bekasi 'Pungli' via Sumbangan Siswa
Sebuah SMA Negeri di Kota Bekasi ramai menjadi perbincangan di media sosial (medsos). SMA tersebut disebut melakukan pungutan liar (pungli) lewat pengumpulan sumbangan dari orang tua (ortu) siswa.
Dari kabar yang beredar, total sumbangan pendidikan yang dikumpulkan dari ortu siswa mencapai miliaran rupiah. Dinas Pendidikan (Disdik) Jawa Barat (Jabar) menepis isu pungli di SMAN tersebut.
"Yang ada di berita kan gitu, jadi menyudutkan sekolah, pungli. Kalau pungli masa komite dengan terang-terangan. Kalau melanggar aturan mereka juga takut, apalagi orang-orang ngerti gitu. Di berita itu pungli, nggak juga," kata Kepala Cabang Wilayah III Disdik Jabar, Asep Sudarsono, saat dihubungi, Sabtu (17/9/2022).
Dalam foto yang beredar, terlihat tiga pilihan sumbangan pendidikan dengan nominal yang berbeda yang harus dibayarkan orang tua siswa yakni Rp 8,5 juta, Rp 8 juta, atau Rp 7 juta.
Asep membenarkan data tersebut merupakan surat edaran SMAN 17 Kota Bekasi. Namun dia mengatakan biaya tersebut merupakan pungutan sekolah berdasarkan Peraturan Menteri 44 tahun 2022 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Pengelolaan Pengujian Pendidikan dan Pergub No 44 Tahun 2022 tentang Komite sekolah.
Dalam Pergub tersebut, sekolah dibolehkan untuk melakukan pungutan kepada orang tua siswa. Hal ini nantinya diperuntukkan untuk operasional sekolah.
"Kalau pungutan kan dibolehkan dari Permen 44. Agar sumbangan itu berjalan baik tidak disalahartikan, maka turunlah Pergub 44 tahun 2022 yang dikeluarkan bulan Agustus 2022. Maka seluruh sekolah melaksanakan itu. Jadi bagi yang tidak mampu dibebaskan, bagi yang mampu silakan untuk menyumbang," jelasnya.