"Prajurit kita bukan prajuritnya hulubalang rezim, bukan pula prajuritnya jenderal. Loyalitas prajurit TNI pada institusi dan negara bukan pada perseorangan." Pangdam VII Wirabuana Mayjen TNI Agus Wirahadikusumah (AWK) melontarkan hal itu kepada pers mengomentari pernyataan Panglima Kostrad Letjen TNI Djaja Suparman. Sebagai jenderal bintang dua, sikap AWK tersebut dianggap banyak kalangan tidak etis dan melanggar disiplin komando.
Sebelumnya Djadja menyatakan bahwa pemanggilan para jenderal oleh Komisi Penyelidikan Pelanggaran (KPP) HAM yang tengah menyelidiki dugaan pelanggaran HAM Berat di Timor Timur akan membuat sakit hati para prajurit. Djadja juga menilai langkah Komnas itu sebagai membabi buta.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pernyataan Djadja itu untuk membela Menko Polhukam yang juga mantan Menhankam/Pangab Jenderal Wiranto yang tengah menghadapi rencana pemeriksaan oleh KPP HAM. Wiranto dianggap bertanggung jawab atas berbagai kekerasan di Timor Timur pasca jajak pendapat, 1999.
Sebaliknya AWK berpendapat bila ada perwira tinggi yang dianggap bersalah sebaiknya biar pengadilan yang memutuskan sebagai wujud supremasi hukum. Bahkan ketika Presiden Abdurrahman Wahid pada awal Februari 2000 meminta agar Wiranto mengundurkan diri sebagai Menko Polkam, AWK menyokongnya.
Sikap tersebut membuat geram para jenderal seniornya. Banyak pihak menilai Agus sudah kebablasan dan layak diajukan ke Dewan Kehormatan Perwira.
Di kesempatan lain, dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi I DPR-RI, AWK mempersoalkan keberadaan Kodam dan aparat teritorial pada umumnya di masa lalu karena banyak disalahgunakan untuk alat kekuasaan.
"Di Jawa tidak perlu ada lagi Kodam. Kodam hanya diperlukan di daerah-daerah yang jangkauan peme rintah dae rahnya masih terbatas," kata Agus. Mabes TNI langsung bereaksi. Melalui Kepala Pusat Penerangan Mayjen TNI Sudrajat menyatakan Mabes ABRI justru akan memekarkan kodam menjadi 17.
Sejumlah jenderal senior menilai pemikiran AWK yang meraih master public administration dari John F. Kennedy School of Government, Harvard University itu kebablasan. Dia radikal dan kerap melabrak pakem, khususnya terkait Dwi Fungsi ABRI.
Banyak yang menilai keberanian atau kenekatan Agus Wirahadikusumah tak lepas dari kedekatannya dengan Sekretaris Negara Bondan Gunawan. Keduanya telah berteman sejak pertengahan1990-an ketika Agus masih berpangkat kolonel.
"Saya diperkenalkan Kolonel Saurip Kadi kepada AWK pada saat ia menjadi dosen berbagai pendidikan tinggi militer," tulis Bondan dalam memoar "Hari-hari Terakhir Bersama Gus Dur". Selanjutnya, mereka bertiga kerap berdiskusi sambil ngopi-ngopi di Hotel Mulia.
Saat AWK menjabat Asisten Perencanaan Umum dengan pangkat Mayjen, Bondan beberapa kali mengajaknya keluar-masuk kampus dan bertemu sejumlah aktivis di Bandung dan Surabaya. Bondan mengaku sangat terkesan dengan kecerdasan, sikap reformis, serta tindakannya yang bijak dan persuasif kala di lapangan.
"Saya kemudian mengusulkan kepada Gus Dur agar mengangkat Agus Wirahadikusumah sebagai Pangkostrad menggantikan Letjen Djadja Suparman," aku Bondan.
Simak juga 'Eks KaBAIS soal Disharmonisasi Panglima-KSAD: Politik dan TNI Beda':
Tak lama setelah menggantikan Djadja sebagai Panglima Kostrad, 29 Maret 2000, AWK mengungkapkan skandal dana Rp 189,5 miliar di Yayasan Dharma Putra milik Kostrad. Djaja menepis. Dia menilai isu tersebut sebagai bagian dari skenario penghapusan bisnis TNI yang menjadi salah satu isu yang kerap didengungkan Agus dan kelompok sipil.
"Itu pembunuhan karakter yang sangat menyakitkan," tulisnya dalam memoar "Jejak Kudeta (1997 - 2005): Catatan Harian Letjen TNI Djaja Suparman". Djadja betul-betul merasa dizalimi, dan menilai isu itu lebih sadis bila dibandingkan dengan membunuh dirinya.
Tak lama berselang beredar "Dokumen Bulak Rantai". Bulak Rantai merujuk kompleks perwira tinggi TNI di kawasan Kramat Jati, Jakarta Timur. Di sana antara lain tinggal Saurip Kadi dan Agus Wirahadikusumah. Dokumen itu antara lain menyebutkan bahwa Bondan, Tyasno Sudarto (KSAD), dan AWK berencana menguasai TNI. Tyasno akan dipromosi sebagai Panglima TNI, Agus KSAD, dan wakilnya Saurip Kadi.
Dengan alasan tak ingin membebani Presiden Gus Dur, Bondan kemudian mengundurkan diri pada 29 Mei 2000. Di dalam memoarnya, dia mengungkapkan banyak pihak yang tak suka dengan dirinya di pemerintahan. Salah satunya adalah Wakil Presiden Megawati.
Pada 1 Agustus, Agus Wirahadikumusah dicopot sebagai Pangkostrad, digantikan Ryamizard Ryacudu. Pada 30 Agustus 2001, AWK meninggal dunia di Rumah Sakit Pusat Pertamina dalam usia 49 tahun. Sementara Bondan berpulang pada 23 Mei 2019.