Sejumlah warga Mentawai, Sumatera Barat (Sumbar), menggugat UU Nomor 17 Tahun 2022 ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka tidak mau disamakan dengan adat Minangkabau yang berbunyi 'adat basandi syara', syara basandi kitabullah' (ABS-SBK).
Warga Mentawai itu adalah:
1. Dedi Juliasman
2. Wahyu Setiadi
3. Dicksy Christopher
4. Basilius Naijiu
Mereka memberikan kuasa kepada Rinto Wardana, Periati Ginting, Rolas Jakson, Dominica Budi Kristiani, Roslina Simangungsong, Diantori, Pitri Indrianingtya, Marhel Saogo, Rihor Frestio, Maurizka Ananda Ramadhani, Taufik Hidayat, dan Boy Anjasta.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Menyatakan Pasal 5 huruf c UU Nomor 17/2022 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai 'tidak berlaku bagi Kabupaten Kepulauan Mentawai yang memiliki adat-istiadat, nilai falsafah, kekayaan sejarah, bahasa, kesenian, desa adat, ritual, upacara adat, situs budaya dan kearifan lokal yang berbeda karakteristiknya dengan 11 kabupaten dan 7 kota yang termasuk dalam cakupan wilayah dan karakteristik Provinsi Sumatera Barat'," demikian bunyi permohonan mereka yang dilansir website MK, Senin (12/9/2022).
Pasal 5 huruf c UU Nomor 17/2022 berbunyi:
Adat dan budaya Minangkabau berdasarkan pada nilai falsafah, adat basandi syara', syara' basandi kitabullah sesuai dengan aturan adat salingka nagari yang berlaku, serta kekayaan sejarah, bahasa, kesenian, desa adat/nagari, ritual, upacara adat, situs budaya, dan kearifan lokal yang menunjukkan karakter religius dan ketinggian adat istiadat masyarakat Sumatera Barat.
Menurut pemohon, Pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 18B ayat 2, Pasal 28 D ayat 1, Pasal 28E ayat 2, Pasal 28I ayat 2 UUD 1945.
"Apabila diterbitkan Peraturan Daerah yang bernuansa syariat yang menjadi peraturan pelaksana dari Pasal 5 UU 17/2022, maka sudah barang tentu bagi siapa saja yang tidak mematuhi Peraturan Daerah tersebut akan dikenakan sanksi pidana. Hal ini menjadi momok menakutkan bagi para pemohon selaku masyarakat Sumatera Baart yang beretnis Mentawai dan nonmuslim lainnya yang tidak menganut falsafah 'adat basandi syara', syara basandi kitabullah'.
"Bagaimana mungkin hukum atau aturan keagamaan atau adat istiadat ditimpakan kepada pihak lain yang tidak tunduk pada nilai keyakinan atau adat istiadat tersebut. Apalagi sanksi denda atau kurungan bersifat mandatoris/koersif," bebernya.
Selain itu, falsafah 'adat basandi syara', syara basandi kitabullah' tidak dapat secara mutatis mutandis diberlakukan kepada Dedi Juliasman dkk selaku masyarakat Sumbar beretnis Mentawai. Sebab falsafah 'adat basandi syara', syara basandi kitabullah' bukanlah falsafah hidup dan mengikat bagi Dedi Juliasman dkk.
'Belajar dari sejarah sebelumnya, di mana tercatat upaya-upaya inflitrasi atau akulturasi adat dan budaya Minangkabau ke dalam kehidupan adat dan budaya Mentawai seperti pemaksaan penggunaan nama nagari dalam satuan wilayah pemerintahan terkecil di Sumatera Barat, pemaksaan penggunaan atribut yang diidentifikasi sebagai atribut keagaaman untuk diberlakukan kepada perempuan nonmuslim, kebijakan transmigrasi lajang, dan tindakan-tindakan lain yang menjadi upaya penghilangan karakteristik adat dan budaya etnis Mentawai secara perlahan-lahan, maka eksistensi adat dan budaya Mentawai sudah sepatutnya diatur secara berimbang dalam materi muatan UU Provinsi Sumatera Barat," ungkap pemohon.
Berkas permohonan itu sudah didaftarkan ke MK dan kini masih diproses oleh kepaniteraan.
(asp/mae)