Ketua MPR RI sekaligus Wakil Ketua Umum Partai Golkar Bambang Soesatyo menegaskan, bahwa bentuk hukum PPHN apakah nanti cukup berdasarkan Undang-undang atau melalui suatu konsesus konvensi ketatanegaraan akan sangat tergantung pada kebutuhan rakyat.
Namun, PPHN dapat dengan mudah dibatalkan jika rakyat merasa tidak cukup hanya berdasarkan undang-undang saja. Adapun PPHN bisa dibatalkan melalui judicial review di MK (Mahkamah Konstitusi) atau ditorpedo oleh Perppu pada periodesasi presiden berikutnya. Dengan demikian, PPHN tidak perlu dibatalkan melalui amandemen atau pun TAP MPR.
"Suara mayoritas yang saya pahami berdasarkan pertemuan langsung dalam kunjungan silaturahmi kebangsaan ke para tokoh bangsa, pimpinan partai politik, pimpinan organisasi keagamaan, organisasi kemasyarakatan dan berbagai elemen bangsa seperti Forum Rektor Indonesia, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) atau BRIN, PBNU, PP Muhammadiyah, PGI, hingga Majelis Tinggi Agama Konghucu (MATAKIN), serta sejumlah akademisi dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia," ungkap Bamsoet dalam keterangannya, Sabtu (10/9/2022).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ada kebutuhan yang mendesak bagi bangsa ini untuk memiliki kembali perencanaan jangka panjang yang mampu mengikat kesinambungan dari setiap periodesasi pemerintahan yang satu dengan yang berikutnya. Baik pusat maupun daerah. Sehingga tidak ada lagi uang rakyat yang dikumpulkan melalui pajak, sia-sia menjadi proyek mangkrak karena tidak diteruskan atau diselesaikan," lanjut Bamsoet.
Dilansir dari laporan hasil Badan Pengkajian MPR RI, ada tiga alternatif pilihan bentuk hukum PPHN. Pertama, jika PPHN dalam bentuk rumusan pasal-pasal Konstitusi, maka kewenangan membentuk PPHN seharusnya ada di tangan MPR.
"Namun alternatif ini tidak direkomendasikan, karena jika diatur dalam Konstitusi, mekanisme perubahan akan sulit dilakukan, sedangkan PPHN adalah produk kebijakan yang berlaku periodik, dan disusun berdasarkan dinamika kehidupan masyarakat yang terus berkembang. Di samping itu, karena PPHN bersifat direktif, maka materi PPHN tidak mungkin dirumuskan hanya dalam satu pasal atau satu ayat saja dalam Konstitusi," ujar Bamsoet.
Saat menjadi narasumber dalam podcast 'Back to BDM' bersama Budiman Tanuredjo, di Jakarta, Bamsoet menjelaskan alternatif kedua, yakni PPHN dalam bentuk Ketetapan MPR, sudah pasti akan dibentuk oleh MPR.
Persoalannya, diperlukan amandemen untuk mengembalikan kewenangan MPR dalam menetapkan haluan negara. Namun, amandemen dinilai sulit untuk dilakukan sebab situasi menjelang tahun politik.
Hal inilah yang mendasari wacana penetapan PPHN melalui konsensus nasional sebagai konvensi ketatanegaraan.
"Alternatif ketiga, jika PPHN bentuk hukumnya adalah undang-undang, maka akan menjadi kewenangan DPR dan Presiden. Persoalannya, jika diatur dalam bentuk undang-undang, kedudukan hukumnya tidak kuat karena masih mungkin untuk 'diganggu-gugat'. Tentunya tidak elok, PPHN sebagai sebuah haluan negara, misalnya digugat melalui judicial review ke Mahkamah Konstitusi, atau 'ditorpedo' dengan PERPPU," jelas Bamsoet.
Ia menerangkan hakikat konvensi ketatanegaraan dinarasikan sebagai hukum yang tidak tertulis jika merujuk pada pandangan tokoh bangsa. Adapun hukum tersebut berupa aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan negara meskipun tidak tertulis.
"Memaknai konvensi ketatanegaraan menurut sistem di Indonesia, kita dapat merujuk pada pandangan Bagir Manan yang mendefinisikannya sebagai kebiasaan/hukum yang tumbuh dalam praktik penyelenggaraan negara, melengkapi, menyempurnakan, menghidupkan atau mendinamisasi kaidah-kaidah hukum perundang-undangan atau hukum adat ketatanegaraan, serta mengisi kekosongan hukum formil yang baku," terang Bamsoet.
Bamsoet menambahkan dalam konteks Konvensi Ketatanegaraan PPHN yang akan diupayakan melalui Konvensi Ketatanegaraan, tentunya dimaksudkan untuk membangun konsensus nasional, kesepakatan bersama. Dengan demikian, mampu menghadirkan PPHN sebagai pedoman arah pembangunan nasional.
"Untuk menindaklanjuti kajian substansi dan berbagai bentuk hukum PPHN tersebut, pada tanggal 3 Oktober MPR akan menyelenggarakan Sidang Paripurna yang pertama sejak reformasi, dengan agenda pembentukan Panitia Ad Hoc MPR. Keputusan mengenai pilihan bentuk hukum mana yang akan diambil terkait PPHN, masih sangat dinamis. Tergantung hasil pembahasan tentang pembentukan Panitia Ad Hoc di Sidang Paripurna MPR mendatang," pungkas Bamsoet.
Lihat juga video 'Ketua MPR Bicara Pentingnya PPHN Jamin IKN Dituntaskan':