Anggota Komisi I DPR Fraksi PDIP Effendi Simbolon mengungkap adanya hubungan disharmoni antara KSAD Jenderal Dudung Abdurachman dan Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa. Pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi menilai rumor itu memang beredar selama ini.
"Rumor semacam yang disampaikan oleh Effendi Simbolon memang banyak beredar selama ini," kata Khairul kepada wartawan, Jumat (9/9/2022).
Tapi menurut Khairul ketidakcocokan antarpejabat menjadi lumrah dan bisa terjadi di instansi manapun. Dia menilai hal itu bukan merupakan persoalan besar selama tidak mengganggu kinerja masing-masing.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tapi ketidakcocokan personal antarpejabat selalu berpeluang terjadi di manapun. Bukan cuma itu, friksi antarmatra maupun antarfaksi juga berpeluang hadir dan itu dapat dipahami karena para prajurit memang dicetak untuk memiliki mental petarung, siap berkompetisi dan menjadi juara. Nah sepanjang tidak mengganggu kinerja maupun pelaksanaan peran dan fungsi masing-masing, hal itu bukan masalah besar," ujarnya.
Namun menurut Khairul hubungan disharmoni itu harus memiliki batasan dan tidak berkembang ke aspek lain dan tidak merusak loyalitas kepada negara, sapta marga, dan sumpah prajurit.
"Tentu saja ketidakcocokan itu ada batasannya agar tidak berkembang menjadi friksi yang menajam dan kontraproduktif. Apa itu? Pertama, loyalitas pada negara dan konstitusi, pada Sapta Marga dan Sumpah Prajurit, pada panglima tertinggi sepanjang itu layak, serta pada ketentuan hukum dan perundang-undangan. Kedua, batasan hierarki dan peran kewenangan. Artinya, sepanjang tidak menabrak salah satu atau kedua batasan itu, ketidakselarasan hubungan tidak akan sampai mengganggu kinerja dan misi lembaga," ujarnya.
Disharmoni Pejabat bukan Hal Baru
Khairul mengatakan adanya disharmoni antarpejabat bukan baru kali saja terjadi. Tapi sudah berlangsung lama. Bahkan menurutnya sejak era Jenderal Sudirman.
"Disinggung oleh Efendi Simbolon bahwa isu tidak harmonis itu bukan hanya baru sekarang, tapi sudah berlangsung lama. Dia menyebut sejak masa Moeldoko. Nah saya kurang sependapat. Kecenderungan untuk tidak harmonis itu bahkan ada terutama sejak organisasi gabungan matra ini dibangun. Bahkan ketika Jenderal Sudirman menjadi Panglima Besar, potensi disharmoni bukannya tidak ada," ucapnya.
"Friksi berpotensi menajam jika personal interest hadir dan terjadi politisasi. Tapi mereka lazimnya akan tetap menunjukkan soliditas dan loyalitas tanpa reserve jika itu menyangkut kepentingan lembaga atau hal-hal yang lebih besar seperti keamanan negara dan stabilitas nasional," lanjut Khairul.
Presiden Belum Perlu Turun Tangan
Khairul mengatakan presiden tidak perlu turun tangan terkait adanya disharmoni ini. Sebab, tidak ada indikasi yang berdampak pada kinerja lembaga. Menurut Khairul, KSAD dan Panglima TNI masih bertanggung jawab sesuai perannya masing-masing.
"Lantas apakah Presiden harus turun tangan? Belum perlu. Kalaupun toh benar ada disharmoni antara Panglima TNI dan KSAD, tidak ada indikasi hal itu mempengaruhi kinerja lembaga secara keseluruhan. Sejauh ini semua peran dan tanggung jawab yang harus mereka jalankan, tetap terlaksana dengan baik," ucapnya.
Simak video 'Kritik Eks KaBAIS ke Effendi Simbolon soal Isu Panglima-KSAD Tak Harmonis':
Simak selengkapnya di halaman berikut
Menurutnya, TNI saat ini sudah dewasa mengatasi konflik ketidakselarasan. Khairul menilai hal itu akan pulih dengan sendirinya.
"TNI ini organisasi yang matang dan dewasa. Selama ini mereka sudah cukup teruji mampu mengatasi potensi konflik dan friksi yang terjadi akibat ketidakselarasan bahkan dengan konsolidasi dan pemulihan cepat, jika disharmoni itu ternyata mempengaruhi lembaga," ucapnya.
Dia lantas heran ketika Effendi menganggap disharmoni itu bermasalah. Menurutnya, Effendi tidak hanya melakukan politisasi dengan mengungkap hubungan disharmoni KSAD dan Panglima TNI.
Tapi juga kata Khairul, anggota legislatif harus memikirkan solusi jangka panjang agar tidak ada lagi persoalan-persoalan serupa. Khairul mengambil contoh dengan mengkaji atau mengevaluasi untuk melakukan revisi UU TNI.
"Tapi jika para legislator di Komisi I DPR sebagai pengemban fungsi pengawasan menganggap disharmoni itu sebagai masalah, ya sebaiknya tidak berhenti hanya sampai sekadar tanya jawab atau bahkan melakukan politisasi. Pikirkan juga solusi yang lebih 'sustain' dan efektif secara jangka panjang. Misalnya dengan memasukkannya dalam inventarisasi masalah pada agenda perubahan UU TNI," ujarnya.
"Termasuk dengan kajian dan evaluasi, apakah model organisasi TNI saat ini masih relevan dan efektif untuk menjawab kebutuhan menghadapi bentuk-bentuk ancaman dan tantangan di masa depan," lanjut Khairul.