Disoal Yasonna, PP Pengetatan Remisi Koruptor Ternyata Dihapus MA

Disoal Yasonna, PP Pengetatan Remisi Koruptor Ternyata Dihapus MA

Matius Alfons - detikNews
Jumat, 09 Sep 2022 16:36 WIB
Poster
Ilustrasi koruptor (Edi Wahyono/detikcom)
Jakarta -

Banyaknya koruptor yang bebas bersyarat ramai menjadi sorotan masyarakat. Menkumham Yasonna Laoly merespons terkait polemik itu dengan menyebut pembebasan bersyarat itu sudah sesuai dengan aturan yang ada.

Yasonna awalnya menyebut pembebasan bersyarat terhadap para koruptor itu berdasarkan aturan yang berlaku. Dia lantas menyinggung terkait judicial review PP 99/2012 atau yang dikenal sebagai PP Pengetatan Remisi Koruptor yang sudah di-review oleh Mahkamah Agung.

"Kita harus sesuai ketentuan aja, aturan UU-nya begitu," kata Yasonna kepada wartawan di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Jumat (9/9/2022).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Karena UU, jadi kan PP 99 sudah di-review, ada juga keputusan MK mengatakan bahwa narapidana berhak remisi. Jadi kan sesuai prinsip nondiskriminasi, ya. Kemudian di-judicial review-lah PP 99. Nah itu makanya kita dalam penyusunan UU Pas, menyesuaikan judicial review, nggak mungkin lagi kita melawan aturan dari keputusan JR terhadap UU yang ada," lanjut Yasonna

Berdasarkan penjelasan Yasonna, pembebasan bersyarat kini berlaku terhadap semua narapidana, termasuk tersangka koruptor, setelah disetujuinya judicial review PP 99 pada 2021 oleh Mahkamah Agung.

ADVERTISEMENT

Lantas bagaimana perjalanan judicial review PP 99/2012 yang mulai diajukan pada 2013?

Berdasarkan catatan detikcom, judicial review terhadap PP 99/2012 ini sudah berkali-kali diajukan oleh beberapa pihak. Kebanyakan dari mereka yang mengajukan adalah mantan terpidana korupsi.

Salah satunya pada 2013, judicial review sempat diajukan ke Mahkamah Agung (MA) oleh terpidana korupsi Rebino, yang melimpahkan kuasanya kepada Yusril Ihza Mahendra.

Kala itu, MA menolak permohonan Rebino. Perkara nomor 51 P/HUM/2013 diadili oleh 5 hakim agung, yaitu M Saleh, Yulius, Supandi, Artidjo Alkostar, dan Imam Soebchi. Vonis diketok pada Selasa (26/11/2013) dengan ketua majelis M Saleh.

Delapan tahun kemudian atau pada 2021, judicial review diajukan kembali oleh lima terpidana korupsi yang sedang menghuni LP Sukamiskin, salah satunya Kepala Desa Subowo. Mereka adalah mantan kepala desa dan warga binaan yang saat itu tengah menjalani pidana penjara di Lapas Sukamiskin, Bandung.

Mereka mengajukan judicial review PP Nomor 99 Tahun 2012 Pasal 34 A ayat (1) huruf (a) dan b, Pasal 34A ayat (3), dan Pasal 43 A ayat (1) huruf (a), Pasal 43A ayat (3) PP No 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah No 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan terhadap UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

Saat itulah, MA berubah pendirian. MA berbalik badan dan berubah pendirian dengan menghapus pengetatan remisi koruptor yang tercantum pada PP Nomor 99 Tahun 2012.

MA beralasan terpidana koruptor tidak boleh dbeda-bedakan dengan terpidana kejahatan lainnya. Putusan itu diketok oleh ketua majelis Supandi dengan anggota Yodi Martono dan Is Sudaryono.

Akibat putusan itu, pemberian remisi koruptor, bandar narkoba, dan terorisme pun kembali sesuai PP 32/1999. Pemberian remisi sesuai PP 32/1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan juncto PP Nomor 28 Tahun 2006, diterapkan dengan tidak memandang jenis kejahatan yang dilakukan.

Lihat juga video 'YLBHI Pertanyakan 'Syarat' Kelakuan Baik Agar Koruptor Bisa Bebas Bersyarat':

[Gambas:Video 20detik]



Simak selengkapnya di halaman berikutnya.

Berikut syarat pemberian remisi bagi semua napi:

1. berbuat jasa kepada negara;
2. melakukan perbuatan yang bermanfaat bagi negara atau kemanusiaan; atau
3. melakukan perbuatan yang membantu kegiatan lapas.
4. Ketentuan untuk mendapatkan remisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) berlaku juga bagi narapidana dan anak pidana yang menunggu grasi sambil menjalani pidana.

Untuk mendapatkan pembebasan bersyarat juga disamakan tanpa melihat latar belakang kejahatan si narapidana. Hal itu tertuang dalam Pasal 43 , yaitu:

1. Setiap Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan kecuali Anak Sipil, berhak mendapatkan pembebasan bersyarat.
2. Pembebasan bersyarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bagi Narapidana dan Anak Pidana setelah menjalani pidana sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari masa pidananya dengan ketentuan 2/3 (dua pertiga) masa pidana tersebut tidak kurang dari 9 (sembilan) bulan.
3. berkelakuan baik selama menjalani masa pidana sekurang-kurangnya 9 (sembilan) bulan terakhir dihitung sebelum tanggal 2/3 (dua per tiga) masa pidana.
4. Pembebasan bersyarat bagi Anak Negara diberikan setelah menjalani pembinaan sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun.

Alasan Majelis Cabut PP Pengetatan Remisi Koruptor

Dalam pertimbangannya, majelis judicial review menyatakan narapidana bukan hanya objek, tapi juga subjek, yang tidak berbeda dengan manusia lainnya, yang sewaktu-waktu dapat melakukan kekhilafan yang dapat dikenai pidana sehingga tidak harus diberantas. Namun yang harus diberantas adalah faktor-faktor yang menyebabkan narapidana berbuat hal-hal yang bertentangan dengan hukum.

"Bahwa, berdasarkan filosofi pemasyarakatan tersebut, rumusan norma yang terdapat di dalam peraturan pelaksanaan UU No 12 Tahun 1995 sebagai aturan teknis pelaksana harus mempunyai semangat yang sebangun dengan filosofi pemasyarakatan yang memperkuat rehabilitasi dan reintegrasi sosial serta konsep restorative justice," kata jubir MA hakim agung Andi Samsan Nganro kepada detikcom, Jumat (29/10/2021).

Majelis menilai sejatinya hak mendapatkan remisi harus diberikan tanpa terkecuali. Yang artinya berlaku sama bagi semua warga binaan untuk mendapatkan haknya secara sama, kecuali dicabut berdasarkan putusan pengadilan.

"Persyaratan untuk mendapatkan remisi tidak boleh bersifat membeda-bedakan dan justru dapat menggeser konsep rehabilitasi dan reintegrasi sosial yang ditetapkan serta harus mempertimbangkan dampak overcrowded di lapas," tutur majelis.

Syarat-syarat tambahan di luar syarat pokok untuk dapat diberikan remisi kepada narapidana seharusnya lebih tepat dikonstruksikan sebagai bentuk (reward) berupa pemberian hak remisi tambahan di luar hak hukum yang telah diberikan. Sebab, segala fakta hukum yang terjadi di persidangan. Termasuk terdakwa yang tidak mau jujur mengakui perbuatannya serta keterlibatan pihak lain dijadikan bahan pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan yang memberatkan hukuman pidana. Sampai titik tersebut, persidangan telah berakhir dan selanjutnya menjadi kewenangan lapas.

"Kewenangan memberikan remisi adalah menjadi otoritas penuh lembaga pemasyarakatan yang dalam tugas pembinaan terhadap warga binaannya tidak bisa diintervensi oleh lembaga lain, apalagi bentuk campur tangan yang justru akan bertolak belakang dengan pembinaan warga binaan," beber Andi menuturkan pertimbangan majelis.

Lapas dalam memberikan penilaian terhadap setiap narapidana untuk dapat diberi remisi harus dimulai sejak yang bersangkutan menyandang status warga binaan dan bukan masih dikaitkan dengan hal-hal lain sebelumnya.

"Diberikannya remisi kepada warga binaan dengan syarat warga binaan tersebut telah melakukan pengembalian kerugian uang negara terlebih dahulu dan warga binaan tersebut bukanlah residivis dari perkara korupsi," jelasnya.

Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads