Kejagung Jelaskan Cara Hitung Kerugian Negara Rp 78 T
Jampidsus Kejagung Febri Adriansyah menjelaskan cara menghitung Rp 78 triliun yang disebut sebagai kerugian keuangan dan atau perekonomian negara akibat kasus korupsi yang membelit Surya Darmadi. Febri mengatakan perhitungan kerugian terhadap perekonomian negara itu melibatkan belasan ahli bidang perpajakan dan lingkungan hidup.
Hal itu disampaikan Febri dalam rapat dengar pendapat (RDP) Komisi III DPR bersama Kejagung di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (23/2/2022). Awalnya perhitungan yang melibatkan 16 ahli ini ditanyakan oleh Ketua Komisi III DPR Bambang Wuryanto atau Bambang Pacul dalam rapat. Bambang Pacul menanyakan apakah 16 ahli yang dilibatkan dalam perhitungan kerugian itu dipayungi oleh UU Tipikor atau hanya berdasarkan keahlian.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jadi angka 78 triliun itu dalam rangka penerapan akibat buah dari penerapan pasal 2 dan 3 yang di dalamnya ada kerugian negara sekaligus kerugian perekonomian negara. Perhitungan kerugian negara itu bisa dibantu melalui BPK, mungkin BPKP. Tapi perekonomian negara tadi ada tim yang melibatkan ada 16 ahli. Tim ini menjadi tim yang di bawah payung undang-undang ataukah tim yang berada pada posisi atas dasar keahlian aja mereka diminta untuk menyelesaikan angkanya, Pak?" kata Bambang Pacul.
"Karena angka Rp 78 triliun itu gede banget ini, Pak. Dalam ukuran korupsi, ini kakap ini, Pak. Tolong, Pak Jampidsus, yang 16 ahli ini berada dalam sebuah tim yang dipayungi oleh peraturan perundang-undangan atau tidak? Karena ini menjadi debatable di dalam persidangan," sambungnya.
Sebagai informasi, penerapan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memfokuskan pembuktian tak hanya meliputi unsur kerugian keuangan negara, tapi juga pembuktian unsur merugikan perekonomian negara.
Menanggapi itu, Febri mulanya menjelaskan bahwa pembuktian kerugian terhadap perekonomian negara merupakan terobosan dalam penanganan kasus korupsi.
"Di tingkat PN (pengadilan negeri) masih kerugian negara yang dibuktikan tapi di tingkat kasasi ternyata hakim sependapat bahwa perkara tekstil atas nama Irianto yang di Batam itu diputuskan kerugiannya di perekonomian negara sehingga ini menjadi terobosan baru dalam penanganan-penanganan perkara tindak pidana korupsi," kata Febri.
Dia mengatakan kerugian terhadap perekonomian negara juga ada dalam kasus korupsi yang melilit Surya Darmadi dengan besaran kerugian Rp 78 triliun. "Sebagaimana ditekankan dan diharapkan semua bahwa ini tidak hanya memenjarakan tapi ada manfaat besar dari sisi ekonomi untuk negara sehingga Rp 78 triliun ini pun kita coba menerapkan bahwa ini kerugian perekonomian. Kita melibatkan 16 ahli baik ahli perpajakan, ahli lingkungan hidup, ini sisi akibat," ujarnya.
Dalam kasus korupsi Duta Palma yang melibatkan Surya Darmadi, Febri menyebutkan perhitungan itu meliputi sisi pajak hingga pungutan negara. Serta perhitungan soal hilangnya hak masyarakat imbas kasus korupsi itu.
"Jadi seperti di perkara Duta Palma ini contohnya kita menghitung dari sisi seperti pajak PPN-nya, PPh-nya, biaya keluar yaitu pajak ekspor hingga pungutan-pungutan negara. Jadi apa yang menjadi hak negara itu dihitung seluruhnya kemudian sampai hilangnya hak masyarakat di Kabupaten Indragiri Hulu dihitung sehingga ketemulah angka Rp 78 T, ini pun masih berkembang karena proses penghitungan masih jalan," jelasnya.
"Tinggal nanti penuntut umum memikirkan ini bisa kembali karena ini kita melihat bahwa untuk menutupi akibat tindak pidana korupsi yang terjadi di lahan hutan ini memang harus ada pengembalian, nah kita akan coba untuk melakukan perampasan aset-aset, termasuk kebunnya," sambungnya.
Duduk Perkara
Kasus ini bermula pada 2003. Saat itu, Surya Darmadi selaku pemilik PT Duta Palma diduga melakukan kongkalikong dengan Thamsir Rachman yang menjabat Bupati Indragiri Hulu terkait perizinan kegiatan pengolahan kelapa sawit perusahaan-perusahaan milik Surya Darmadi.
Disebutkan Surya Darmadi selaku Pemilik PT Duta Palma Group (di antaranya PT Banyu Bening Utama, PT Panca Agro Lestari, PT Seberida Subur, PT Palma Satu, dan PT Kencana Amal Tani) melakukan kesepakatan dengan Thamris Rachman selaku Bupati Indragiri Hulu (Periode 1999-2008) untuk mempermudah dan memuluskan perizinan kegiatan usaha budidaya perkebunan kelapa sawit dan kegiatan usaha pengolahan kelapa sawit maupun persyaratan penerbitan HGU kepada perusahaan-perusahaan Surya Darmadi di Kabupaten Indragiri Hulu. Perizinan itu berada di lahan kawasan hutan, yakni di hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK), hutan penggunaan lainnya (HPL), ataupun hutan produksi terbatas (HPT) di Kabupaten Indragiri Hulu. Namun kelengkapan perizinan lokasi dan usaha perkebunan dibuat secara melawan hukum tanpa adanya izin prinsip dengan tujuan agar izin pelepasan kawasan hutan bisa diperoleh.
Kejagung menyebutkan PT Duta Palma Group diduga tidak memiliki izin pelepasan kawasan hutan atau HGU hingga saat ini. Tak hanya itu, PT Duta Palma Group diduga Kejagung juga tidak pernah memenuhi kewajiban hukum untuk menyediakan pola kemitraan sebesar 20 persen dari total luas area kebun yang dikelola.
Perbuatan itu diduga mengakibatkan kerugian perekonomian negara. Kejagung menyebutkan perbuatan tersebut diduga mengakibatkan hilangnya hak-hak masyarakat Kabupaten Indragiri Hulu untuk memperoleh mata pencaharian dari hasil hutan tersebut.
(yld/dhn)