Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan pembatalan UU Ibu Kota Negara (IKN) yang diajukan Din Syamsuddin dkk. MK membeberkan sejumlah argumen mengapa permohonan itu ditolak.
"Mengadili. Menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua MK Anwar Usman dalam sidang di gedung MK yang disiarkan live dari channel YouTube MK, Rabu (20/7/2022).
Berikut ini sejumlah pertimbangan MK:
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Soal Asas Kejelasan Tujuan
Ternyata perencanaan pembentukan IKN merupakan bagian dari program sistem perencanaan pembangunan nasional yang telah tercantum dalam Lampiran Perpres 18/2020 dan telah pula dituangkan dalam Prolegnas jangka menengah 2020-2024 dan telah diprioritaskan setiap tahun sejak 2020 sehingga semakin menegaskan bahwa pembentukan IKN telah benar-benar memiliki kejelasan tujuan sebagaimana diatur dalam Pasal 5 huruf a UU 12/2011.
Terlepas dari adanya dalil para Pemohon yang menyatakan bahwa rencana pembentukan IKN ini seolah-olah 'disusupkan' dalam RPJMN tahun 2020-2025, menurut Mahkamah, alat bukti yang diajukan oleh para pemohon tidak cukup membuktikan bahwa dalil a quo benar adanya, apalagi untuk dapat mematahkan argumentasi atau fakta hukum serta bukti-bukti yang diajukan oleh pemerintah dan DPR.
Oleh karena itu, menurut Mahkamah, untuk melihat secara menyeluruh tujuan dan kejelasan sebuah undang-undang haruslah dilihat secara keseluruhan norma undang-undang tersebut yang selanjutnya apabila dianggap dapat merugikan hak konstitusional atau menyimpang dari tujuan dibentuknya undang-undang maka dapat dilakukan pengujian secara materiil terhadap norma dimaksud ke Mahkamah Konstitusi.
Dengan demikian, sesungguhnya dengan telah dicantumkannya maksud dan tujuan penyusunan undang-undang dalam UU 3/2022 dan dijelaskan secara komprehensif dalam Penjelasan Umum sebagaimana hal tersebut juga telah dinyatakan dalam Perpres 18/2020 mengenai RPJMN, maka tujuan pembentukan UU 3/2022 pada prinsipnya telah memenuhi 'asas kejelasan tujuan' sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a UU 12/2011.
Soal Asas Kesesuaian antara Jenis, Hierarki, dan Materi Muatan
Apa yang para Pemohon persoalkan tersebut lebih merupakan bentuk kekhawatiran atas implementasi UU 3/2022. Dalam kaitan ini, hal yang terpenting adalah peraturan pelaksana tidak boleh bertentangan dengan ketentuan yang mendelegasikannya (dari peraturan yang lebih tinggi).
Andaipun ada persoalan pertentangan demikian, quod non, sistem hukum pengujian peraturan perundang-undangan di Indonesia pun telah mengatur penyelesaiannya oleh lembaga yang diberi kewenangan untuk itu.
Soal Asas Dapat Dilaksanakan
Dengan mencermati tujuan dibentuknya UU 3/2022 sebagaimana telah dipertimbangkan di atas serta uraian aspek filosofis, sosiologis, dan yuridis dalam Naskah Akademik RUU IKN, Pembentuk Undang-Undang telah memperhitungkan dampak pembangunan IKN terhadap masyarakat setempat yang sudah mendiami wilayah tersebut sebelum rencana pemindahan IKN dilakukan, sehingga pembangunan dan pengelolaan IKN dapat berlangsung secara terukur sesuai dengan tujuan dibentuknya IKN.
Berdasarkan fakta hukum yang terungkap dalam persidangan, hal tersebut telah dilakukan oleh pemerintah dengan membuat kajian secara komprehensif perihal rencana pemindahan ibu kota tersebut. Menurut Mahkamah, dalil para pemohon yang menyatakan bahwa pembentukan UU 3/2022 telah melanggar 'asas dapat dilaksanakan' sebagaimana diatur dalam Pasal 5 huruf d UU 12/2011 adalah tidak beralasan menurut hukum.
Soal Asas Kedayagunaan dan Kehasilgunaan
Survei Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia (Kedai Kopi) tidak dapat dijadikan acuan bahwa UU 3/2022 telah melanggar asas kedayagunaan dan kehasilgunaan. Mahkamah dapat memahami kekhawatiran dari para Pemohon berkenaan dengan penularan COVID-19, namun kekhawatiran tersebut tidak dapat dijadikan alasan untuk tidak dilakukannya atau menghentikannya pembahasan atas suatu RUU. Terlebih lagi, di tengah kondisi pandemi COVID-19 di mana setiap orang harus mematuhi ketentuan atau protokol kesehatan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah maka upaya yang dapat dilakukan salah satunya dengan menjaga jarak (physical distancing). Oleh karenanya, pembahasan atas suatu RUU pun tetap dapat dilakukan secara daring (dalam jaringan), tanpa harus menghentikan seluruh proses yang telah ditentukan.
Selain itu, berkenaan dengan pendanaan pembangunan IKN yang dikhawatirkan para Pemohon akan menghambat pemulihan ekonomi masyarakat akibat pandemi COVID-19, sesungguhnya tidaklah berkorelasi dengan persoalan konstitusionalitas proses pembentukan UU 3/2022, di mana proses tersebut harus didasarkan pada undang-undang pembentukan peraturan perundang-undangan yang merupakan amanat Pasal 22A UUD 1945.
Soal Asas Keterbukaan
Mahkamah tidak menemukan adanya rangkaian bukti lain dari para pemohon yang dapat membuktikan bahwa Pemerintah dan DPR telah benar-benar berupaya menutup diri atau tidak terbuka kepada publik terkait dengan pembentukan UU 3/2022.
Berkenaan dengan 2 alat bukti yang diajukan oleh para pemohon, yakni screenshoot laman Rekam Jejak Pembentukan UU 3/2022 di website DPR RI dan bukti Surat Permohonan Data/Berkas bertanggal 9 Mei 2022 tentang pembentukan UU IKN ke Menteri PPN/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Menteri Hukum dan HAM, dan DPR RI melalui sekretaris Jenderal DPR, tidak cukup membuktikan adanya tendensi bahwa Pemerintah dan DPR telah melanggar asas keterbukaan sebagaimana diatur dalam Pasal 5 huruf g UU 12/2011.
Soal Fast Track Legislation
Sepanjang semua proses dalam tahapan tersebut telah terpenuhi dan dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dan penuh kehati-hatian oleh pembentuk undang-undang dengan berpatokan kepada asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, meliputi asas: kejelasan tujuan, kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat, kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan, dapat dilaksanakan, kedayagunaan dan kehasilgunaan, kejelasan rumusan dan keterbukaan, maka terkait dengan waktu penyelesaian dan pembahasan yang terkesan seperti cepat atau fast track legislation merupakan bagian dari upaya pembentuk undang-undang untuk menyelesaikan undang-undang pada umumnya, termasuk dalam hal ini UU 3/2022, yaitu sejak suatu RUU diusulkan masuk dalam Prolegnas jangka menengah.
Terlebih lagi, menurut Mahkamah, terkait dengan frame waktu pembentukan sebuah undang-undang, UU 12/2011 dan perubahannya sampai saat ini tidak memberikan ketentuan yang definitif kapan suatu RUU yang telah masuk Prolegnas akan diselesaikan.
Simak juga 'Momen MK Ungkap Mahasiswa Palsukan Tanda Tangan Gugatan':
(asp/mae)