Mahkamah Agung (MA) diminta turun tangan untuk menyudahi polemik pernikahan beda agama. Polemik itu diketok setelah Pengadilan Negeri (PN) Surabaya mengizinkan warganya yang beragama Islam menikah dengan calon pengantin wanita yang beragama Kristen.
"Ini kewenangan KY dan MA untuk menelaah putusan dan memeriksa hakim. Jangan sampai menjadi preseden lahirnya putusan-putusan yang serupa," kata ahli hukum administrasi negara Dr Tedi Sudrajat saat berbincang dengan detikcom, Jumat (24/6/2022).
Menurut Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman (FH Unsoed) itu, keabsahan pernikahan ketika tercatat di KUA dan Disdukcapil. Dasar keabsahannya harus memenuhi tiga unsur, yaitu wewenang, substansi, dan prosedur.
"Adapun ketiga unsur tersebut diatur tegas dalam UU Administrasi Kependudukan dan UU Perkawinan," ujar Tedi.
Dalam konteks kenegaraan, kata Tedi, perkawinan merupakan bagian dari hukum publik. Ada hubungan negara dengan warga negara.
"Di dalamnya terdapat tindakan hukum pemerintahan bersegi satu berupa proses pencatatan oleh pemerintah sebagai pengakuan perkawinan guna pemenuhan hak, pada saat dan setelah perkawinan," ungkap Tedi.
Nah, penetapan PN Surabaya baru-baru ini dinilai kembali membelah publik soal pernikahan beda agama. Karena itu, MA harus turun membuat solusi karena bisa berbuah preseden di banyak tempat.
"Bisa dengan Peraturan Mahkamah Agung tentang Pedoman Mengadili Perkara Perkawinan Beda Agama," ucap Tedi mengusulkan.
Lihat juga video 'Beda Agama, Nadine dan Dimas Anggara Menikah di Bhutan?':
(asp/zap)