Institut Musik Jalanan (IMJ) didirikan Andi Malewa pada tahun 2014. Selama 14 tahun berkecimpung di jalanan untuk mengamen, membuat Andi mengalami dan melihat sendiri bagaimana musisi jalanan kerap alami diskriminasi. Bertekad mengurangi hal tersebut, Andi membuat wadah berupa IMJ.
Pengamen sering kali dianggap mengganggu ketertiban umum. Oleh karena itulah, terdapat peraturan-peraturan daerah yang melarang kegiatan mengamen ataupun memberi uang pada pengamen. Misalnya, Peraturan Daerah kota Depok nomor 16 tentang Pembinaan dan Pengawasan Ketertiban Umum.
Saat ditemui tim detikcom di markas IMJ, Andi menuturkan pendapatnya mengenai peraturan yang dianggapnya mendiskriminasi para pengamen. Menurutnya, pengamen kerap tak punya banyak pilihan dan ruang berekspresi, yang kemudian menyebabkan mereka harus mengamen di zona-zona merah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Musisi jalanan itu adalah profesi, persoalan kami ada di jalanan ya karena kami tidak punya ruang. Kenapa ada temen-temen di lampu merah, karena mungkin kami kesulitan mengakses taman, kami kesulitan untuk mengakses area wisata, kami kesulitan untuk mengakses ruang publik," jelas Andi untuk program Sosok (19/6/22).
Oleh karena itu, IMJ memiliki misi untuk melakukan tata kelola terhadap profesi musisi jalanan. Salah satu usaha yang dilakukan adalah dengan menerbitkan lisensi untuk musisi jalanan dan memberikan akses untuk tampil di ruang-ruang publik seperti mal, taman, stasiun moda raya terpadu (MRT), dan lain-lain.
Lisensi tersebut bisa didapatkan anggota IMJ yang lolos proses kurasi. IMJ mula-mula akan mengadakan audisi dan wawancara kepada kandidat, dan bagi yang lolos akan mendapatkan rekomendasi dari Direktorat Jenderal Kebudayaan untuk mendapat lisensi.
"Anggota IMJ tidak mungkin lagi ketangkap (aparat), karena mereka sudah tidak ada yang main lagi di zona-zona merah. Baru boleh dibilang IMJ ketika mereka itu main misalnya, sudah dapat lisensi dan dapat akses di ruang publik. Sepanjang mereka belum dapat itu, kami belum mengizinkan, 'Kamu harus ikut pembinaan sampai kamu sesuai dengan standar yang diinginkan pihak pengelola ruang publik,'" terang Andi saat ditanya mengenai sejauh mana tanggung jawab IMJ apabila anggotanya ada yang diciduk di jalanan.
Pembinaan yang dilakukan IMJ berupa kelas-kelas musik dan pembinaan karakter. Namun, semuanya dilakukan dengan kasual, atau mengutip pernyataan Andi, "Seperti saudara."
Jumlah musisi jalanan yang terdaftar di IMJ, halaman selanjutnya..
"Sebenernya di sini, seperti saudara saja. Misalnya, 'Bro, lu kalau mau dapat akses main di mall, rajin mandi lah. Dandanan dibenerin dikit, pakai baju yang bagus enak dilihat, terus kamu pakai sepatu, terus kamu bermain musiknya yang enak. Semua pengelola ruang itu punya standard, kamu tidak bisa bermain musik sesuka hati kamu,' seperti itu," tutur Andi.
IMJ juga mendorong anggotanya untuk menerbitkan karyanya sendiri. Oleh karena itu, IMJ menyediakan fasilitas berupa ruang recording, mengajarkan tentang distribusi karya, serta sarana prasarana lainnya. Sejauh ini, IMJ sudah menghasilkan empat album kompilasi, dan kini sedang proses mengerjakan album kelima.
Meski demikian, membina anggota IMJ untuk menjadi musisi berkelas juga punya tantangannya sendiri. Tak mudah untuk mengubah cara berpikir para musisi jalanan agar meningkatkan kualitas bermusiknya. Menurut Andi, semua tergantung pribadi sang musisi.
"Ada yang bebal banget, ada juga yang satu bulan dia udah mengerti apa maksud dan tujuan Institut Musik Jalanan, dan dia mau berupaya untuk 'naik kelas'. 'Ah saya di jalanan aja lah, saya bawain tiga lagu dengan kunci nggak sampai reff, saya sudah dapat duit,' itu secara tidak langsung biasanya keanggotaannya kami cabut," terang Andi.
"Kami ingin seperti di luar negeri, profesi street musician itu dihargai, mereka punya ruang yang proper, mereka berkesenian bukan karena orang ingin mengusir mereka, mereka diapresiasi karena benar mereka berkualitas, bermusiknya," lanjutnya.
Saat ini, musisi jalanan yang terdaftar di IMJ sudah mencapai lebih dari 3000 orang. Sedangkan mereka yang sudah mendapat lisensi berjumlah 400 orang, tersebar di Jabodetabek, Tegal, Cikampek, Semarang, Salatiga, Malang, dan Yogyakarta.
(nad/fuf)