Hakim konstitusi akan menentukan nasib periode jabatannya pada Senin depan. Apakah kembali ke sistem kocok 5 tahunan atau pensiun di usia 70 tahun atau setelah 15 tahun menjabat.
Berdasarkan jadwal sidang yang dilansir website MK, Jumat (17/6/2022), berikut jadwalnya:
90/PUU-XVIII/2020
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pengujian Formil dan Materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi terhadap UUD 1945
Pemohon: Allan Fatchan Gani Wardhana, SH, MH
96/PUU-XVIII/2020
Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi terhadap UUD 1945
Pemohon: Dr. Ir. Priyanto, SH, MH, MM
100/PUU-XVIII/2020
Pengujian Formil dan Materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi terhadap UUD 1945
Pemohon: Raden Violla RH, SH; M Ihsan Maulana, SH; Rahmah Mutiara M, SH, dkk
Baca juga: "Konstitusi adalah Saya" |
Sebelumnya, dosen FH UII Yogyakarta, Allan Fatchan, menggugat UU Nomor 7 Tahun 2020 tentang MK ke MK. Allan meminta batas minimal hakim konstitusi diturunkan dari minimal 55 tahun menjadi 47 tahun.
Allan menilai UU MK yang baru itu berpotensi mengakibatkan hakim konstitusi tersebut terjebak dalam konflik kepentingan (conflict of interest) dengan pembentuk UU. Sementara produk dari pembentuk undang-undang merupakan objek in litis dalam pengujian undang-undang di MK.
"Dengan adanya konflik kepentingan (conflict of interest) dengan pembentuk undang-undang berpotensi mengganggu independensi dan impartialitas hakim konstitusi yang sedang menjabat pada saat UU MK diundangkan dalam melakukan pengujian undang-undang sehingga bertentangan dengan Pasal 24 ayat (1) UUD NRI 1945 yang menyatakan 'kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan'," papar Allan.
Ahli Zainal Arifin Mochtar menduga jangan-jangan ada maksud tertentu, yaitu DPR-presiden sedang meng-entertain hakim konstitusi saat ini.
"Yang Mulia, saya memahami permohonan ini, itu ada 2 basis besar, yaitu pengujian formil dan pengujian materiil. Pengujian formil itu bicara soal penyelundupan hukum, ya, tidak memenuhi syarat carry over, pelanggaran asas pembentukan peraturan perundang-undangan, revisi tidak dapat dipertanggungjawabkan secara akademik, dan proses pembahasan tidak memenuhi aspirasi publik, dan revisi undang-undang berdasarkan undang-undang yang invalid," kata Zainal.
Zainal tidak bisa menampik dugaan negatif atas hadirnya UU MK baru itu. Zainal menduga ada kepentingan terselubung di balik UU MK itu.
"Menurut saya itu menjadi praktik yang semakin orang akan memperdebatkan soal jangan-jangan yang sedang, jangan-jangan, Yang Mulia, mohon maaf sekali lagi. Jangan-jangan lagi yang sedang disenangkan ini atau yang entertain hanya hakim konstitusi. Karena kemudian ada satu pasal, yang dipakai secara einmalig, sekali pakai," tutur Zainal.
(asp/dnu)