Tuntutan KPK Tak Mempan: Dari Sofyan Basir hingga Samin Tan

Tim detikcom - detikNews
Selasa, 14 Jun 2022 11:12 WIB
Gedung Merah Putih KPK (Andhika Prasetya/detikcom)
Jakarta -

Lagi dan lagi KPK harus gigit jari. Tuntutan jaksa KPK tak mampu membuktikan adanya tindak pidana korupsi.

Adalah seorang bernama Samin Tan yang berhasil mengukuhkan diri melawan KPK. 'Crazy rich' Samin Tan itu sejatinya telah divonis bebas pada pengadilan tingkat pertama di Pengadilan Tipikor Jakarta. KPK yang tidak terima lantas mengajukan kasasi, tetapi kandas di Mahkamah Agung (MA).

Ini merupakan kesekian kalinya tuntutan KPK tidak terbukti di meja hijau. Dalam rangkaian perkara yang serupa sebelumnya, KPK juga gigit jari karena tak bisa membuktikan adanya kejahatan ketika seorang Sofyan Basir divonis bebas.

Untuk menyegarkan ingatan, mari kita bahas terlebih dulu bagaimana perkara yang pernah menjerat Sofyan Basir.

Sofyan Basir

Semuanya bermula pada Juli 2018 ketika tim KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap beberapa orang. Saat itu tebersit kabar seorang anggota DPR aktif dari Partai Golkar terjaring KPK. Dialah Eni Maulani Saragih, yang saat itu bertugas di Komisi VII DPR yang membidangi energi.

Dalam waktu 1x24 jam setelahnya, KPK yakin menetapkan dua tersangka. Eni menjadi salah satunya, sedangkan seorang lagi adalah pengusaha bernama Johanes Budisutrisno Kotjo.

Duduk persoalannya saat itu dijelaskan bahwa Kotjo adalah pemegang saham Blackgold Natural Resources Ltd (BNR), yang menjadi induk usaha PT Samantaka Batubara. Dengan kendaraan bisnisnya itu, Kotjo turut menggandeng investor asal China bernama China Huadian Engineering Company Ltd (CHEC). Tujuannya, Kotjo ingin mengerjakan proyek independent power producer Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang (IPP PLTU MT) Riau-1.

Namun keinginan Kotjo terhambat lantaran proses pendekatannya dengan PT PLN selaku pemilik proyek terkendala. Kotjo pun sowan ke kawan lamanya yang memang bukan nama asing, yaitu Setya Novanto. Saat itu pula Novanto menjabat Ketua DPR. Dari obrolan dua sahabat lama itu, nama Eni muncul dari Novanto untuk membantu Kotjo bertemu langsung dengan Sofyan sebagai Direktur Utama PT PLN.

Ternyata ada maksud lain di balik urusan bisnis. Kotjo sudah menyiapkan catatan pendanaan yang akan dibagikannya ke sejumlah orang bila proyek itu berhasil. Di tengah perjalanan, Novanto terjerat kasus di KPK. Eni, yang merasa bergantung pada Novanto sebagai Ketua Umum Partai Golkar, berpindah haluan ke Idrus Marham sebagai Pelaksana Tugas Ketua Umum Partai Golkar.

Singkat cerita, Eni menerima suap dari Kotjo. Belakangan, Idrus turut dijerat KPK mengarahkan suap tersebut untuk kepentingan partai. Hukuman bagi tiga serangkai itu sudah dibacakan. Namun hanya Eni dan Kotjo yang vonisnya telah berkekuatan hukum tetap, sedangkan Idrus masih berjuang mengupayakan kasasi di Mahkamah Agung (MA).

Lalu, apa hubungannya dengan Sofyan?

Sofyan Basir (Grandyos Zafna/detikcom)

Dalam surat dakwaan ketiga orang di atas, nama Sofyan tertulis jelas mengikuti berbagai pertemuan untuk kepentingan proyek. Pembicaraan demi pembicaraan yang muncul pada pertemuan itu terkuak dalam persidangan. KPK menangkap apa yang terjadi dalam persidangan.

Pada 23 April 2019, KPK melalui wakil ketuanya saat itu, Saut Situmorang, menyebut Sofyan diduga turut serta membantu Eni mendapatkan suap dari Kotjo. Saut juga menyebut Sofyan menerima janji berupa commitment fee atau uang komitmen. Sofyan resmi menjadi tersangka.

Waktu bergulir hingga pada Juni 2019 Sofyan duduk sebagai pesakitan. Sofyan didakwa melanggar Pasal 12 huruf a juncto Pasal 15 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 56 ke-2 KUHP dan Pasal 11 juncto Pasal 15 UU Tipikor juncto Pasal 56 ke-2 KUHP.

"Dengan sengaja memberi kesempatan, sarana, atau keterangan untuk melakukan kejahatan," ucap jaksa KPK saat membacakan surat dakwaan dalam persidangan yang digelar di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jalan Bungur Besar Raya, Jakarta Pusat, Senin (24/6/2019).

Sejatinya, ada pasal yang termasuk jarang digunakan KPK, yaitu Pasal 15 UU Tipikor. Berikut ini isinya:

Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14.

Persidangan demi persidangan terlewati hingga suatu pagi menjelang pembacaan vonis pada 4 November 2019 seorang Sofyan menyampaikan harapan. Dia merasa apa yang dituntutkan jaksa kepadanya tidaklah tepat.

"Ya bebas harapannya, ya," kata Sofyan.

Dan benar saja, beberapa jam setelahnya hakim membacakan vonis bebas untuk Sofyan. Segala dakwaan KPK yang disusun itu akhirnya dimentahkan oleh hakim. Menurut majelis hakim, Sofyan tidak terbukti melakukan perbuatan pidana.

"Mengadili menyatakan Terdakwa Sofyan Basir tidak terbukti secara sah dan meyakinkan sebagaimana dakwaan pertama dan kedua," kata hakim ketua Hariono saat membacakan amar putusan dalam sidang.

Kedua tangan Sofyan Basir menengadah seraya memanjatkan doa. Vonis bebas dari ketokan palu hakimlah yang memang Sofyan dambakan.

"Sekali lagi saya bersyukur kepada Allah, kepada pemerintah, dan semua pihak yang membantu proses ini sehingga bebas," kata Sofyan selepas pembacaan vonis kepadanya.

Mantan Direktur Utama PT PLN itu lolos dari tuntutan jaksa KPK. Dalam lembar tuntutan tersebut, jaksa meminta majelis hakim menghukum Sofyan dengan pidana 5 tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider 3 bulan kurungan.

Bebasnya Sofyan membuat jaksa terperangah. Namun kesempatan untuk mengajukan banding atas vonis itu tetap membuat jaksa istikamah.

"Yang jelas, kami mempelajari putusan hakim dulu baru menyatakan sikap," kata Ronald Ferdinand Worotikan sebagai salah satu jaksa yang bertugas dalam persidangan itu.

Senyum Sofyan pun melebar. Langkahnya mantap keluar dari rumah tahanan KPK yang dihuninya sejak 27 Mei 2019.

Pertimbangan Hakim

Majelis hakim menyatakan bila Sofyan tidak memiliki niat melakukan perbantuan perbuatan suap antara pengusaha Johanes Budisutrisno Kotjo pada mantan anggota DPR Eni Maulani Saragih dan mantan Menteri Sosial (Mensos) Idrus Marham. Kotjo merupakan pengusaha yang ingin mengerjakan proyek PLTU Riau-1 di PLN.

Kotjo disebut sebagai pemegang saham dari Blackgold Natural Resources (BNR) Ltd yang bekerja sama dengan China Huadian Engineering Company (CHEC) untuk menggarap proyek tersebut. Sedangkan dari PLN dititahkan anak usahanya, PT Pembangkitan Jawa Bali Investasi (PJBI) untuk proyek tersebut.

Kotjo awalnya meminta bantuan Setya Novanto sebagai Ketua DPR saat itu untuk mendekati PLN. Dari Novanto, Kotjo diperkenalkan pada Eni. Kotjo disebut memiliki catatan berisi siapa saja yang akan menerima fee atau jatah uang apabila proyek itu dikerjakannya. Dalam catatan itu, majelis hakim menyatakan tidak tercantum nama Sofyan.

"Menimbang bahwa catatan itu dari Kotjo dan pihak Setya Novanto tidak mengetahui catatan itu, sedangkan Sofyan Basir yang menandatangani (proyek) Independent Power Producer (IPPP) PLTU Riau-1 antara PT PJBI dengan BNR dan CHEC tidak tercantum atau bukan pihak yang menerima fee," kata hakim saat membacakan pertimbangan hukum dalam vonis tersebut di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jalan Bungur Besar Raya, Jakarta Pusat, Senin (4/11/2019).

Sofyan pun disebut hakim tidak mengetahui adanya pembagian fee berdasarkan keterangannya. Keterangan itu dicocokkan pula dengan keterangan Eni dalam fakta persidangan.

"Dan terdakwa tidak mengetahui fee itu untuk siapa saja serta ke siapa saja fee tersebut akan diberikan. Hal ini sesuai terbukti dengan pernyataan Eni bahwa uang Eni dari Kotjo, terdakwa Sofyan Basir sama sekali tidak mengetahuinya," ucapnya.

Tak Ada Keinginan Sofyan Percepat Kontrak

Sofyan tercatat beberapa kali melakukan pertemuan dengan para kontraktor proyek tersebut termasuk bersama Eni. Sofyan disebut selalu ditemani Supangkat Iwan Santoso sebagai Direktur Pengadaan Strategis 2 PLN.

"Menimbang bahwa terdakwa Sofyan Basir melakukan pertemuan karena ini program nasional. Hal ini sesuai dengan aturan Perpres tentang Percepatan Pembangunan Infrastruktur Nomor 3 Tahun 2016 yang telah diubah dengan Perpres Nomor 58 Tahun 2017. Jadi jelas percepatan bukan karena keinginan terdakwa dan bukan dari pesanan Eni atau Kotjo," kata hakim.

Di sisi lain Eni menerima fee dari Kotjo secara bertahap selepas penandatanganan kontrak sebesar Rp 4,75 miliar. Menurut hakim, penerimaan fee tersebut tanpa sepengetahuan Sofyan.

"Menimbang bahwa dengan demikian Terdakwa Sofyan Basir tidak terbukti melakukan pasal perbantuan sebagaimana yang didakwakan Pasal 12 huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dakwaan pertama dengan pasal perbantuan sebagaimana Pasal 56 ke-2 KUHP," kata hakim.

Sedangkan untuk pasal lainnya sebagaimana dakwaan kedua menurut hakim juga tidak terbukti seturut dengan pertimbangan dalam dakwaan pertama di atas. Atas hal itu majelis hakim memvonis bebas Sofyan.

"Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan di atas maka terdakwa Sofyan Basir tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana perbantuan sebagaimana didakwakan jaksa penuntut umum sebagaimana dakwaan pertama dan kedua," ucap hakim.

"Menimbang karena tak terbukti dalam dakwaan pertama dan kedua maka terdakwa harus dibebaskan dari segala dakwaan," imbuhnya.

Kasasi KPK Kandas

KPK memang pada akhirnya mengajukan kasasi tapi kandas juga. Berdasarkan info perkara MA yang dikutip detikcom, Rabu (17/6/2020), vonis itu diketok pada Selasa (16/6) sore. Duduk sebagai ketua majelis Suhadi dengan anggota Sofyan Sitompul, Krisna Harahap, Abdul Latief dan LL Hutagalung.

Dengan ditolaknya kasasi jaksa, maka putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) bergeming. Pada 4 November 2019 itu Sofyan Basir dinyatakan bebas dari semua dakwaan.

Lalu bagaimana kisah 'crazy rich' Samin Tan? Silakan ke halaman berikutnya.

Simak juga 'Eks Jubir KPK: KPK Sekarang Full of Controversy dan Banyak Gimik':






(dhn/fjp)

Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork