Sejak pertama kali muncul pada 1800-an di Inggris, jejak badut yang dikenal sebagai sosok lucu dan menghibur berubah menjadi figur mengerikan sekitar 100 tahun setelahnya. Pertunjukan opera berjudul 'Pagliacci' karya Ruggero Leoncavallo yang dipentaskan sekitar awal abad ke-19 di wilayah Eropa menjadi puncak dualisme sosok badut di dunia.
Namun hal berbeda terjadi di Indonesia. Coreng-moreng wajah, lukisan tawa artifisial, dilengkapi hidung merah berbentuk bundar menjadi ciri khas badut yang dikenal masyarakat hingga akhir 2020-an.
Seiring banyaknya orang-orang berkostum badut di jalanan yang acap kali menunjukkan mimik sedih atau mengharapkan uang dari orang lain, wawasan masyarakat akan badut kemudian perlahan berubah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Untuk menjadi seorang badut yang sebenarnya, bukan hanya riasan yang dibutuhkan, tapi juga keahlian. Delon, alter ego Dedy Rachmanto, yang dikenal sebagai panglima badut Indonesia, menegaskan ada nilai lain yang harus dimiliki oleh badut 'asli'.
"Badut tuh make up, mereka pakai topeng bukan badut. Mereka pakai kostum badut untuk menutupi yang aslinya, sebenarnya dia aslinya minta-minta. Kami bermain sulap, bermain akrobatik, melakukan atraksi untuk anak-anak," ujar Dedy dalam program Sosok, Minggu (5/6/2022).
Selama 43 tahun mendalami profesinya, Dedy meyakini ada sisi profesionalitas yang perlu ditegakkan saat kostum sudah menempel di badan. Baginya, badut adalah seorang performer.
"Yang sesungguhnya kan lebih ke di sini, bukan pity, tapi hati, ini seni," lanjutnya.
Tokoh politik disebut 'badut', di halaman berikutnya.
Delon bukanlah badut biasa. Bersama empat orang rekannya, ia membentuk paguyuban untuk mengayomi profesinya. Sejak ABI (Aku Badut Indonesia) didirikan, ada pekerjaan tambahan selain menghibur, yaitu donasi.
Mereka memilih anak-anak kanker, yatim piatu, dan korban bencana alam sebagai objek program baik ini. Cara yang mereka gunakan sederhana, membuat pentas di pusat keramaian, kemudian mengajak masyarakat membeli merchandise yang mereka jual sebagai bentuk dukungan.
"2018, saya mulai aksi di car free day, orang pertama melihat, nggak ada yang ngasih duit, saya jual pin bros. Pin bros ini saya beli Rp 3.500 bikin, saya jual Rp 10.000, keuntungannya buat anak-anak kanker, anak yatim, bencana alam," kenangnya.
Sayang, usaha Dedy beserta rekannya kurang mendapatkan atensi dari masyarakat. Merchandise yang mereka jual hanya dihargai setengah dari biaya produksinya. Namun ketekunan mereka akhirnya terbayarkan. Berkat publikasi masyarakat, kampanye yang mereka gaungkan mulai didukung.
"Tiba-tiba booming-lah, diundang-undang TV, media ngundang, semua wawancara, terbuktilah bahwa kami melakukan hal itu, mereka sekarang udah nggak ngasih Rp 2000, ngasih Rp 50 ribu," ungkapnya sambil tersenyum.
Namun ada elegi terlukis di balik urat senyumnya yang khas. Kecilnya kesempatan mereka untuk tampil di depan publik diimbangi dengan terkikisnya nilai jenaka seorang badut akibat citra yang berkembang saat ini membuat istilah badut menjadi peyoratif.
"Kita sudah memiliki moto 'bahagia membuat orang lain bahagia'. Saya tidak mengerti kenapa di Indonesia seperti itu. Misal tokoh politik disebut menjadi 'badut'," tutup Dedy Delon.