Wamenkumham Prof Edward Omar Sharif Hiariej menyatakan pakar pidana dari Belanda, JE Jonkers, menilai KUHP tidak cocok diterapkan di Indonesia. Oleh sebab itu, perlu dibuat KUHP baru dengan cita rasa Nusantara Indonesia.
"Jonkers menyatakan tidak cocok menerapkan hukum pidana Belanda yang homogen itu diterapkan di Indonesia yang multikultur, multietnis dan multireligi," kata Prof Edward Omar Sharif Hiariej.
Hal itu disampaikan saat menjadi dosen tamu di Fakultas Hukum Universitas Jember (Unej) yang disiarkan di channel YouTube FH Unej, Kamis (2/6/2022). Hadir dalam acara itu Rektor Unej Iwan Taruna, mahasiswa Unej, dan jajaran Muspida Jember.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
JE Jonkers adalah ahli pidana yang mengajar di kampus Leiden University. Sebelumnya, ia pernah menjadi hakim tinggi di Maros, Sulawesi Selatan. Analisis JE Jonkers dituangkan dalam sebuah buku 'Pengantar Hukum Hindia-Belanda' pada 1940-an.
"Jadi Jongkers tahu persis bagaimana hukum yang hidup dalam masyarakat begitu berkembang," ucap Profesor UGM yang biasa dipanggil Eddy itu.
Oleh sebab itu, dalam Rancangan KUHP sekarang, pemerintah-DPR membuat satu pasal yang mengakui 'hukum adat'. Namun ada sejumlah syarat sehingga hukum adat bisa berlaku di masyarakat.
"Tidak ada niat membangkitkan pranata hukum pidana adat, tapi kita mengakomodasi pranata yang hidup di masyarakat seperti di Bali, Papua," ucap Eddy.
Berikut rambu-rambu hukum adat di RUU KUHP:
Yang dimaksud dengan 'hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana' adalah hukum pidana adat.
Pemenuhan kewajiban adat setempat diutamakan, jika Tindak Pidana yang dilakukan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat 2:
-berlaku dalam tempat hukum itu hidup;
-tidak diatur dalam RUU KUHP; dan
-sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, UUD NRI 1945, hak asasi manusia, dan asas hukum umum yang diakui masyarakat beradab.
Pemenuhan kewajiban adat setempat dianggap sebanding dengan pidana denda kategori II dan dapat dikenakan pidana pengganti untuk pidana denda, jika kewajiban adat setempat tidak dipenuhi atau tidak dijalani oleh terpidana (Pasal 96 RUU KUHP).
Pidana pengganti dapat juga berupa pidana ganti kerugian (Pasal 96 RUU KUHP).
Dalam sambutannya, Iwan Taruna menyambut baik kuliah umum tersebut dengan langsung memanggil praktisi yang juga pakar hukum. Hal itu agar para mahasiswa bisa update langsung isu hukum terkini dengan mendengarkan sendiri dari sumbernya.
"Kita tidak ingin anak kita sekolah di atmosfer yang tidak kekinian," kata Iwan Taruna.
Simak Video 'Pemerintah Akomodasi 14 Isu Krusial RKUHP, Segera Diparipurnakan':