Hakim konstitusi Prof Saldi Isra senada dengan hakim konstitusi Arief Hidayat yang mencemaskan bahaya media sosial (medsos). Saldi mengambil contoh Filipina dengan menangnya capres Marcos Jr, yang juga putra diktator Ferdinand Marcos.
"Di tempat lain ada perkembangan yang mencemaskan kita. Prof Arief dengan fasih mencemaskan orang dari bantuan medsos. Tiba-tiba bisa muncul lagi sebagai pemilihan yang demokratis. Itu baru saja terjadi di Filipina. Salah satu yang memberikan kontribusi besar adalah pengaruh socmed. Ada lapis generasi mereka tidak peduli lagi pada perkembangan sejarah ketatanegaraan," kata Saldi Isra saat menjadi pemantik dalam Konferensi Nasional APHTN-HAN dengan tema 'Dinamika Negara Hukum Indonesia Pasca Perubahan UUD 1945' di Kuta, Bali, Kamis (19/5/2022).
Selain itu, Saldi menyoroti soal over-regulasi. Ia menyatakan masalah regulasi di Indonesia bukanlah di tingkatan UU, tetapi peraturan di bawah UU. Oleh sebab itu, perlu digagaskan pembenahan di bawah presiden langsung untuk menatanya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ada 40.000 peraturan di bawah undang-undang. Problemnya bukan di UU, tetapi peraturan perundangan di bawah UU. Ini yang harus diselesaikan," ucap Saldi Isra.
Dari jumlah 40 ribu regulasi, jumlah UU tidak sampai 10 ribu. Tapi regulasi di bawah UU yang jumlahnya sangat banyak dan tumpang tindah. Dari Peraturan Menteri hingga Peraturan Daerah.
"Sekarang begitu banyaknya peraturan menteri yang take over kewenangan presiden," cetus Saldi Isra.
Di tempat tersebut, Ketua Umum Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) Prof Guntur Hamzah berharap para akademisi hukum ikut mewujudkan negara demokratis-nomokratis. Salah satu yang dibahas adalah soal perizinan pasca UU Ciptaker yang telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
"Konferensi Nasional Hukum Tata Negara ini mengambil tema soal dinamika negara hukum Indonesia pascaperubahan UUD 1945. Ini sangat menarik sebagai upaya kita bersama mewujudkan negara demokratis dan nomokratis," kata Prof Guntur.
Simak selengkapnya di halaman selanjutnya:
Saksikan Video '24 Tahun Reformasi dan Alarm Demokrasi dari Filipina':