Perkara korupsi minyak goreng ternyata membuat Jaksa Agung ST Burhanuddin mempunyai bekingan baru. Siapa bekingannya?
Burhanuddin yang menjadi bintang tamu dalam podcast Deddy Corbuzier itu awalnya ditanya Deddy terkait bekingan yang dimilikinya saat mengungkap kasus korupsi pemberian fasilitas ekspor crude palm oil (CPO) atau minyak goreng. Merespons pertanyaan itu, awalnya Burhanuddin bingung terkait sosok bekingan itu. Lantas, Burhanuddin menjawab rekannya yang merupakan Jaksa Agung Muda bidang Pidana Militer yang menjadi bekingannya.
"Sekarang masyarakat memfavoritkan sekali Kejaksaan karena kinerjanya gila, banyak yang berhasillah semuanya yang Anda kerjakan luar biasa, apalagi belakangan ini dapat bekingan ya? Tambahan?" tanya Deddy, dikutip dari YouTube Deddy Corbuzier, Kamis (12/5/2022).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Apa itu bekingan. Saya punya Jaksa Agung Muda bidang Pidana Militer bekingannya. Apa nih, bekingan apa nih," ucap Burhanuddin.
Sambil bercanda, Deddy menimpali Burhanuddin dengan sebutan memiliki bekingan emak-emak. Burhanuddin lantas mengaku memiliki bekingan emak-emak gara-gara mengungkap kasus korupsi ekspor minyak goreng.
"Bukan... saya dengar Bapak dapat bekingan nih? Emak-emak?" ucap Deddy.
"Ooh... ha-ha-ha.... Emak-emak ya... karena sukses dengan minyak goreng," ujar Burhanuddin sambil tertawa.
"Sekarang tampang Anda wah... kalau emak-emak lihat," ujar Deddy.
"Idola emak-emak," tutur Burhanuddin sambil tertawa.
Deddy mengaku senang saat menyaksikan Jaksa Agung mengungkap kasus-kasus besar di berita. Namun Burhanuddin mengatakan hanya kebetulan karena menurutnya di antara penegak hukum lain, seperti Polri dan KPK, sebenarnya tidak ada masalah rebutan kasus.
"Kebetulan saja. Di antara kami di penegak hukum nggak ada masalah, kami saling cerita. Kalau zaman dulu ada kan cicak buaya, sekarang kami kompak," kata Burhanuddin.
Burhanuddin mengatakan saat ini penegak hukum telah ada perjanjian agar tidak mengusut kasus yang sama secara tumpang-tindih. Justru, menurutnya, saat ini aparat penegak hukum saling bertukar informasi.
"Ya kan ada aturannya. Misalnya kalau sudah dipegang satu tidak boleh dipegang oleh kita. Kita kan ada link-nya, misalnya ada surat SPDP kita semua udah tahu," kata Burhanuddin.
Burhanuddin mengatakan tidak ada rebutan kasus antara Kejagung, KPK, dan Polri. Justru, menurutnya, jika ada pihak yang mau membantu, bisa saling bertukar informasi.
"Nggak ada rebutan kerjaan, nggak ada kami. Kami damai-damai saja bertiga ini gitu loh," imbuhnya.
Simak juga 'ICW Dorong Kejagung Ungkap Aktor Lain dalam Kasus Ekspor Minyak Goreng':
Sebelumnya, Jaksa Agung ST Burhanuddin mengungkap kasus korupsi pemberian fasilitas ekspor CPO atau minyak goreng dan produk turunannya. Hingga kini total 4 tersangka dalam kasus tersebut.
Keempat tersangka tersebut adalah:
1. Indrasari Wisnu Wardhana selaku Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan (Dirjen Daglu Kemendag);
2. Master Parulian Tumanggor selaku Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia;
3. Stanley MA selaku Senior Manager Corporate Affair Permata Hijau Grup (PHG); dan
4. Picare Tagore Sitanggang selaku General Manager di Bagian General Affair PT Musim Mas.
Mereka dijerat Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut UU Tipikor). Awal mula perkara ini, disebutkan Burhanuddin, pada akhir 2021 ketika terjadi kelangkaan dan kenaikan harga minyak goreng di pasar.
Saat kelangkaan itu, pemerintah melalui Kemendag mengambil kebijakan menetapkan domestic market obligation (DMO) dan harga eceran tertinggi. Namun, dalam pelaksanaannya, perusahaan ekspor minyak goreng tidak melaksanakan kebijakan pemerintah itu.
"Maka pemerintah melalui Kementerian Perdagangan telah mengambil kebijakan untuk menetapkan DMO serta DPO (domestic price obligation) bagi perusahaan yang ingin melaksanakan ekspor CPO dan produk turunannya serta menetapkan harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng sawit," papar Burhanuddin.
"Namun, dalam pelaksanaannya, perusahaan eksportir tidak memenuhi DPO namun tetap mendapatkan persetujuan ekspor dari pemerintah," imbuhnya.
(yld/dhn)