Pasal 54 KUHAP berbunyi:
Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan,menurut tata cara yang ditentukan dalam undang-undang ini.
Peradi Jaksel meminta MK menafsirkan lebih luas.
"Menyatakan Pasal 54 KUHP konstitusional bersyarat sepanjang Pasal 54 KUHAP dimaknai termasuk saksi dan terperiksa," demikian bunyi permohonan Peradi Jaksel yang dikutip detikcom dari website MK, Selasa (26/4/2022).
Secara terpisah, Ketua Peradi Jaksel Octolin Hutagalung menyatakan advokat sering kali dihadapkan dengan adanya larangan dalam melakukan pendampingan terhadap kliennya yang berkedudukan sebagai saksi pada setiap tingkat pemeriksaan yang dilakukan oleh pihak kepolisian, kejaksaan, terlebih oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Dengan berdasarkan pada ketentuan Pasal 54 KUHAP yang tidak mengatur adanya frasa "saksi" sehingga hak yang diberikan untuk mendapatkan bantuan hukum dalam rangka kepentingan pembelaan dari seorang atau lebih penasihat hukum terbatas kepada tersangka dan terdakwa saja," ujar Octolin Hutagalung.
Selama 41 tahun berlakunya KUHAP, Octolin Hutagalung menyatakan para advokat mengalami hambatan dalam menjalankan profesinya, sehingga para pengurus Ketua Peradi Jakarta Selatan merasa perlu memperjuangkan hak konstitusional para advokat untuk kepentingan pribadi, anggota, dan semua advokat di seluruh Indonesia.
"Keluhan-keluhan para advokat dalam membela kliennya yang masih dalam status tersangka sudah banyak terjadi terutama di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun seorang advokat seakan tidak berdaya untuk memaksakan diri untuk mendampingi kliennya," ujar Octolin Hutagalung.
Menurut Octolin Hutagalung, saksi untuk mendapat nasihat hukum dijamin dalam berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan, seperti UU HAM, UU Perlindungan Saksi dan Korban, serta UU Kekuasaan Kehakiman. Hak tersebut diberikan semata-mata sebagai bentuk perlindungan Hukum dan HAM agar tidak menimbulkan potensi seorang saksi akan mendapatkan tekanan, paksaan, bujuk rayu, ancaman kekerasan baik bersifat fisik maupun psikis sewaktu diperiksa untuk mendapatkan keterangan, informasi, maupun pengakuan bahkan kerap kali seorang yang diperiksa sebagai saksi.
"Tak berselang lama di kemudian hari tanpa pemberitahuan apa pun, diubah statusnya menjadi tersangka oleh penyidik, kemudian dipanggil kembali untuk diperiksa sebagai tersangka. Hal ini jelas merugikan hak hukum seorang saksi," ujar Octolin Hutagalung.
Dalam konteks demikianlah, keberadaan advokat menjadi krusial. Yaitu dapat membantu saksi untuk tidak terperosok ke dalam pertanyaan-pertanyaan yang bersifat menjebak, yang kemudian menjadi "perangkap" terhadap saksi.
"Pertanyaan menjebak yang bertendensi mengejar pengakuan jelas melanggar prinsip bahwa seseorang tidak dapat dipaksa untuk mengakui perbuatan salahnya," cetus Octolin Hutagalung.
Sementara itu, menurut kuasa hukum Peradi Jaksel, Rika Irianti, ketidakpastian hukum terhadap norma Pasal 54 KUHAP tersebut berakibat langsung terhadap terancamnya profesi para pemohon dalam menjalankan profesinya.
"Kami berharap MK memberikan tafsir terhadap Pasal 54 KUHAP sehingga dapat menghentikan perdebatan dan polemik oleh penegak hukum atas larangan advokat mendampingi saksi yang belum diatur secara tegas dalam KUHAP yang merugikan advokat dan masyarakat akan haknya untuk mendapatkan bantuan hukum," pungkas Rika Irianti. (asp/dnu)