Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid (HNW) mengatakan setelah UUD 1945 diubah, kedaulatan Indonesia berada di tangan rakyat bukan MPR atau pejabat eksekutif. Oleh karena itu setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemimpin harus mendengarkan aspirasi rakyat.
"Sekarang yang memilih presiden adalah rakyat, bukan MPR. Demikian juga gubernur, wali kota, dan berbagai pejabat publik lainnya. Sehingga setiap kebijakan yang diambil eksekutif maupun legislatif, di tingkat pusat maupun daerah, tidak boleh menabrak ketentuan konstitusi. Selalu mempertimbangkan aspirasi dan maslahat rakyat. Sehingga para pimpinan bangsa baik di tingkat nasional maupun lokal, bahkan yang terdepan dan sepanjang waktu berhadapan dengan rakyat seperti para RT dan RW, harus memahami aturan-aturan dalam konstitusi untuk dijalankan," kata HNW dalam keterangannya, Sabtu (23/4/2022).
Ia menuturkan, apabila ada pejabat diajak untuk melanggar konstitusi harusnya pimpinan tersebut menolak dengan tegas. Pasalnya pelanggaran hal tersebut bisa membahayakan kepercayaan rakyat terhadap demokrasi dan memberikan efek negatif pada negara.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mengacu pada situasi saat ini, HNW menjelaskan banyak kedaulatan rakyat yang belakangan ini diabaikan dan dimanipulasi oleh segelintir pejabat, salah satu contohnya yakni isu presiden 3 periode.
"Ada yang mengklaim memiliki 110 juta big data pendukung tiga periode, ada yang memanipulasi dukungan ulama Banten, ada pula yang memanipulasi forum kepala desa (Apdesi) untuk mendukung agenda tersebut. Mereka mengira warga tidak paham konstitusi. Tapi setelah dijelaskan muncullah bantahan-bantahan oleh banyak pihak yang berkompeten dan mementahkan manuver tak bertanggung jawab itu," ujarnya.
Sebagai negara demokrasi, ia menekankan aturan yang telah disepakati seharusnya ditaati bersama. Sehingga tidak menghadirkan polemik di kemudian hari. Sebagai contoh, masa jabatan presiden maksimal 5 tahun sekali maka aturan tersebut harus dijalankan.
"Semua upaya memanipulasi, itu bukan lagi demokrasi, melainkan democrazy, yang membahayakan kesatuan warga dan masa depan NKRI," katanya.
Hadirnya koridor konstitusi kata HNW pada dasarnya adalah untuk merealisasikan cita-cita Indonesia merdeka. Di antaranya untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, termasuk untuk warga di tingkat desa/kampung dengan pimpinannya para lurah, RW dan RT.
Namun yang terjadi alih-alih memakmurkan rakyat malah justru terkesan pemerintah tidak mendengarkan jeritan kesusahan rakyat dengan melalui kebijakan kenaikan sejumlah harga-harga. Ditambah dengan manuver-manuver untuk penundaan pemilu atau perpanjangan masa jabatan presiden. Dalam kondisi demikian wajar bila rakyat mengkritisi dan mempertanyakan arah daripada demokrasi Indonesia.
"Kedaulatan di tangan rakyat, dengan harapan kebijakan negara dapat membawa maslahat bagi rakyat, serta mengamalkan dasar negara Pancasila yang sila kelimanya berbunyi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Itulah makna demokrasi Indonesia yang tidak boleh ditabrak oleh siapa pun dengan dalih apa pun termasuk untuk perpanjangan masa jabatan presiden. Dalam kondisi sulit akibat COVID-19, mestinya semua pihak menjaga harmoni, menghindarkan friksi dan ketegangan sosial, akibat adanya upaya menentang konstitusi. Semua, ini akan bisa dihindari bila para pemimpin bangsa memahami dan melaksanakan empat pilar MPR-RI termasuk dalam mengamalkan Pancasila dan UUD NRI 1945 secara baik, benar dan konsisten," tutupnya.
(fhs/ega)