Akun Kementerian Sekretariat Negara (@kemensetneg.ri) mengunggah julukan enam Presiden Indonesia, antara lain penguasa Orde Baru HM Soeharto sebagai Bapak Pembangunan. Sejatinya ini bukan gelar baru karena sudah muncul sejak 1983. Hal itu antara lain dilandasi oleh strategi pembangunan yang dijalankannya sejak mulai berkuasa pada 12 Maret 1967.
Soeharto mewujudkannya lewat program Pembangunan Lima Tahun (Pelita) dengan fokus tertentu. Pada Pelita I (1 April 1969-31 Maret 1974), misalnya, fokus membangun infrastruktur pertanian untuk memenuhi kebutuhan dasar rakyat. Pelita II, fokus meningkatkan pembangunan di pulau-pulau selain Jawa, Bali, dan Madura, di antaranya melalui program transmigrasi. Pada Pelita III (1 April 1979-31 Maret 1984) Presiden Soeharto menekankan pada trilogi pembangunan dengan menekankan asas pemerataan, yakni pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok, kesempatan memperoleh pendidikan, dan pemerataan kesempatan kerja.
Nah, pada pertengahan Pelita III, Kepala Bakin (Badan Koordinasi Intelijen Negara) Jenderal Yoga Sugomo dan Letjen Ali Moertopo menilai Presiden Soeharto sudah waktunya berhenti. Sebab, dia sudah hampir 15 tahun berkuasa, tiga periode. Itu merupakan masa jabatan yang cukup lama, bahkan sama dengan empat kali masa jabatan Presiden di Amerika Serikat. Bagi Yoga dan Ali, masa jabatan selama itu tentu sudah luar biasa dan sangat membanggakan, tetapi juga bisa menimbulkan berbagai ekses buruk.
Memahami segala kemungkinan buruk yang bisa terjadi, mereka berdua mencoba mengingatkan Soeharto dengan cara Jawa, yaitu memangku dengan menggulirkan gelar 'Bapak Pembangunan'. Tujuannya agar Soeharto cukup merasa puas dan kemudian berkenan lengser dengan tidak mencalonkan lagi menjadi Presiden pada periode 1983-1988.
Hal itu ditempuh Yoga dan Ali karena hubungannya dengan Presiden Soeharto tak sebatas bawahan-atasan, tetapi sudah sedulur sinorowedi, bagaikan sahabat sejati, bahkan saudara. Karena itu mereka selalu ngeman dan telah selalu membuktikan untuk rela pasang badan demi Pak Harto. Ngeman adalah bahasa Jawa yang menggambarkan perasaan simpati terhadap orang lain, sehingga tidak rela orang tersebut mengalami musibah, menderita, atau tersakiti.
Bambang Wiwoho dan Banjar Chaeruddin mengungkapkan hal itu dalam buku 'Jenderal Yoga Loyalis di Balik Layar'. Jika sampai timbul pertanyaan dari Soeharto, siapa yang harus menggantikannya, Yoga menyatakan, "Sebaiknya generasi peralihan dari Angkatan '45. Siapa saja yang Pak Harto pilih, maka saya akan mendukung dan menyukseskannya," tutur Jenderal Yoga seperti ditulis Wiwoho.
Simak selengkapnya terkait Soeharto di halaman selanjutnya.
Saksikan juga 'Herannya Titiek Nama Soeharto Tak Ada di Keppres 1 Maret: Lucu Aja':
(jat/knv)