Pemerintah Diminta Antisipasi Krisis Global ke Ketahanan Pangan

Pemerintah Diminta Antisipasi Krisis Global ke Ketahanan Pangan

Angga Laraspati - detikNews
Rabu, 13 Apr 2022 20:29 WIB
Wakil Ketua MPR Lestari Moerdijat
Foto: MPR
Jakarta -

Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat mengatakan krisis global menuntut adanya persiapan langkah antisipatif terhadap setiap dampak yang mungkin terjadi. Adapun menurut Rerie, sapaan akrab Lestari, dampak yang bisa terjadi terkait keamanan dan stabilitas pangan dalam negeri.

"Masalah pangan yang kita hadapi adalah bagian dari masalah global yang juga dihadapi oleh negara-negara lain di dunia. Karena itu kita memerlukan langkah-langkah antisipasi agar kita memiliki ketahanan pangan yang lebih baik," kata Rerie dalam keterangannya, Rabu (13/4/2022).

Saat membuka diskusi daring bertema Mengantisipasi Ancaman Krisis Pangan Dampak Perang Ukraina-Rusia hari ini, Rerie menuturkan para pemangku kepentingan harus belajar dari berbagai konflik global dengan berupaya memperkuat sumber daya yang dimiliki agar mampu memberi jaminan ketahanan pangan, setidaknya selama pemulihan untuk bangkit dari pandemi.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Ketahanan pangan merupakan keadaan ketika semua orang memiliki akses sosial dan ekonomi terhadap kecukupan pangan yang bergizi untuk hidup produktif dan sehat," imbuhnya.

Ia menjelaskan pada tahun 2020 sejumlah badan dunia menganalisa secara komprehensif tentang ancaman serta indikasi kerawanan pangan dan malnutrisi secara global berdasarkan refleksi mendalam atas situasi pandemi yang menggerogoti setiap aspek kehidupan.

ADVERTISEMENT

Rerie memaparkan berdasarkan catatan Badan Pangan Dunia (FAO) kondisi itu diperparah dengan terjadinya konflik Rusia-Ukraina sehingga menyebabkan kenaikan 17,1% harga komoditas biji-bijian dunia, termasuk barley, gandum dan jagung.

"Karena, krisis yang terjadi di dunia seringkali mengganggu stabilitas komoditas pangan dunia, akibat terjadinya lonjakan intervensi perdagangan dan pembatasan ekspor pangan," ujar Rerie.

Rerie menambahkan kondisi itu harus segera diantisipasi dengan berbagai langkah strategis yang terukur, lewat kolaborasi yang baik antara para pemangku kepentingan dan masyarakat, agar Indonesia mampu mewujudkan ketahanan pangan yang lebih baik.

Sementara itu, Wakil Menteri Pertanian 2009-2011, Bayu Krisnamurthi mengungkapkan inflasi Indonesia Januari 2022 hingga Maret 2022 sudah tercatat 2,4%. Angka tersebut sudah melampaui angka inflasi Indonesia pada 2019 pra pandemi yang tercatat 2,27%.

Bayu pun menyarankan agar pemerintah bersiap menghadapi inflasi Indonesia melebihi angka perkiraan sebesar 3 +/-1% atau berkisar 4%. Harga-harga komoditas dunia seperti gandum, sapi bakalan, gula, kedelai dan CPO naik tajam yang disebabkan pasokan komoditas merespon lambat terhadap pemulihan dari pandemi di beberapa negara.

"Jadi, kondisi harga-harga komoditas dunia saat ini memang sedang tidak baik-baik saja dan berdampak global, termasuk Indonesia," ungkapnya.

Baca selanjutnya

Senada dengan Bayu, Guru Besar Fakultas Pertanian IPB, Dwi Andreas Santosa mengungkapkan dampak harga komoditas dunia sangat mempengaruhi kondisi pasokan pangan Indonesia. Kondisi saat ini, FAO food price indeks dunia sudah mencapai 152 atau lebih tinggi daripada food price index saat terjadi perang Arab-Israel pada 1973-1975 yang sebesar 137.

Dwi memperkirakan tahun ini akan terjadi krisis pangan dunia dan kemungkinan akan panjang. Menghadapi kondisi itu, Indonesia akan kesulitan menghadapinya karena angka ketahanan pangan Indonesia terus memburuk pada tiga tahun terakhir.

Dwi berharap berbagai upaya meningkatkan ketahanan pangan dengan melibatkan seluruh elemen masyarakat harus terus dilakukan, untuk meningkatkan ketahanan pangan nasional.

"Sejumlah terobosan anak bangsa, dalam menghasilkan bibit unggul tanaman pangan, produksi pupuk dan sejumlah inovasi lainnya harus mendapatkan dukungan yang memadai demi kemandirian pasokan pangan nasional," ucap Dwi.

Dalam kesempatan yang sama, Guru Besar Ilmu Ekonomi Pertanian, Universitas Lampung, Bustanul Arifin mengungkapkan kondisi harga-harga komoditas dunia saat ini dipengaruhi faktor geopolitik, perubahan iklim dan pandemi.

Menurut Bustanul, kondisi yang menyebabkan gejolak harga pangan itu harus diantisipasi secara menyeluruh. Untuk jangka pendek, pemberian bantuan langsung tunai dan sejenisnya harus dilakukan secara efektif, jangan sampai terjadi kebocoran.

Selain itu, tambah Bustanul, upaya dalam jangka menengah bisa dilakukan lewat pendampingan dan pemberdayaan petani pada pertanian presisi, digitalisasi rantai pasokan yang mampu meningkatkan nilai pangan dan untuk jangka panjang dengan memperkenalkan teknologi pangan yang lebih adaptif terhadap perubahan.

Di sisi lain, Dosen Program Studi Manajemen FEB Unika Soegijapranata Semarang, MG Westri Kekalih Susilowati berpendapat permasalahan pangan itu mencakup aspek produksi, distribusi dan konsumsi masyarakat.

Karena masalah pangan, jelas Westri, sangat dipengaruhi alih fungsi lahan dan degradasi lahan di sisi produksi, pertumbuhan penduduk dan meningkatnya status ekonomi yang mempengaruhi pola konsumsi dan pada akhirnya berpengaruh pada ketersediaan pangan.

Pendapat lain datang dari Wakil Ketua Komisi VI DPR RI, Martin Manurung yang menilai setiap komoditas memiliki karakteristik yang khas, sehingga perlakuan terhadap setiap komoditas harus berbeda untuk upaya perbaikan.

Martin juga mendesak pemerintah harus secara ketat mengawal harga-harga komoditas di tengah harga komoditas global yang bergejolak. Menurut dia, upaya pengawalan harga komoditas pernah dilakukan pemerintah dan berhasil mengendalikan harga beberapa tahun lalu.

"Saya kira pemerintah bisa menerapkan strategi yang sama untuk mengendalikan harga komoditas kali ini," ujar Martin.

Kolaborasi antara instansi dan lembaga serta pemerintah pusat dan daerah juga harus diperbaiki sehingga upaya untuk mengatasi gejolak harga komoditas di tanah air bisa berjalan dengan baik.

Semenatara itu, Staf Khusus Wakil Ketua MPR RI, Luthfi A. Mutty berpendapat masalah pangan yang dihadapi saat ini adalah dampak dari masalah global. Meski begitu, menurut Luthfi, kondisi itu harus dihadapi dengan berbagai upaya untuk meningkatkan ketahanan pangan nasional.

"Karena, kelembagaan petani di tanah air saat ini terbilang lemah. Kelompok tani tidak lagi jadi tujuan untuk dibina. Banyak penyuluh pertanian, jelas Luthfi, beralih dari tenaga fungsional menjadi tenaga struktural," urainya.

Lebih lanjut, Jurnalis senior Saur Hutabarat berpendapat Indonesia memiliki pekerjaan rumah yang begitu besar di sektor ketersediaan pangan yang harus segera diselesaikan.

Cadangan beras dalam negeri yang hanya tersedia untuk 1-2 bulan misalnya, ujar Saur, harus bisa ditingkatkan. Demikian pula produksi pangan nasional yang tidak mampu mengimbangi pertambahan jumlah penduduk.

Pemberdayaan petani dari sisi kemampuan dan kreativitas juga harus menjadi kepedulian bersama agar mampu mendorong produktivitas pangan nasional.

Halaman 2 dari 2
(prf/ega)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads