Ramadan tentu memiliki kisah yang menarik bagi setiap Muslim yang menjalankannya. Begitu juga bagi Tri Wandi Januar, warga asal Kabupaten Batubara, Sumatera Utara, yang kini tinggal di Taiwan.
Wandi mengatakan tahun ini merupakan tahun kelima dirinya menjalankan ibadah puasa Ramadan di Taiwan. Dia yang kini tinggal di Zhongli District, Taoyuan County, Taiwan, tidak kembali ke Indonesia saat Ramadan disebabkan beberapa hal.
"Alasannya adalah, pertama, karena kalender akademik di sini nggak ada penyesuaian untuk bulan Ramadan dan Idul Fitri. Jadi, mungkin sulit untuk mendapatkan izin dari advisor. Kedua, kalaupun diizinkan, tapi masih menyisakan pekerjaan rumah (PR), ketika kembali ke Taiwan karena masih harus karantina yang biaya hotelnya ditanggung secara personal. Apalagi, di sini saya bareng istri dan anak, jadi harus mikir-mikir lagi," kata Wandi kepada wartawan, Minggu (3/4/2022).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Wandi mengatakan Ramadan di tempatnya juga dimulai hari ini. Penetapan Ramadan ini berdasarkan keputusan Chinese Muslim Association (CMA) sebagai salah satu pihak yang memiliki otoritas mengurusi persoalan keagamaan di Taiwan.
Sebelum Ramadan, kata Wandi, dia bersama sejumlah warga negara Indonesia (WNI) yang beragama Islam lainnya juga melaksanakan kegiatan seperti peringatan Isra Mikraj, Kajian Tarhib Ramdan dan beberapa kegiatan lainnya. Acara-acara seperti ini biasanya diselenggarakan ormas Islam yang ada di sana.
"Lebih kepada WNI dari berbagai ormas, seperti PCINU Taiwan (Nahdliyin), PCIM Taiwan (Muhammadiyah), KMIT (Keluarga Muslim Indonesia di Taiwan), Salimah (Persaudaraan Muslimah), dan FORMMIT (Forum Mahasiswa Muslim Indonesia di Taiwan)," tutur Wandi.
"Walaupun kegiatan-kegiatan pra-Ramadan semisal itu nggak semasif seperti di Indonesia, paling tidak bisa mengobati kerinduan menjalankan puasa dan merayakan lebaran bersama keluarga besar di Tanah Air," sambungnya.
Wandi mengatakan dia menemukan perbedaan waktu makan sahur dan berbuka puasa. Hal ini membuatnya harus bisa menyesuaikan diri dengan ketentuan yang ada di sana.
"Apalagi di tahun-tahun awal tinggal di Taiwan. Misalnya untuk sahur harus bangun jam 2 dini hari dan bukanya jam 7 petang. Karena Ramadan pada tahun itu bertepatan dengan musim panas, jadi durasi puasanya lebih panjang. Namun puasa Ramadan tahun ini bertepatan dengan musim semi. Jadi puasanya nggak terlalu panjang, kurang-lebih 14 jam," ucap Wandi.
Simak juga 'Presiden Jokowi: Selamat Menunaikan Ibadah Puasa, Tetap Disiplin Prokes':
Tak hanya soal sahur dan berbuka, aktivitas di Taiwan juga tidak menyesuaikan dengan jadwal berbuka bagi yang berpuasa. Hal ini membuat Wandi harus pandai-pandai menyesuaikan waktu agar puasa dan ibadah lainnya dapat berjalan dengan baik.
Lalu untuk makanan saat sahur dan berbuka, Wandi mengatakan di Taiwan tidak sulit ditemukan. Restoran Muslim khas Timur Tengah banyak tersedia di sana.
Selain itu, warung-warung yang menjual masakan khas Indonesia tidak terlalu sulit ditemukan. Jadi, Wandi beserta WNI lainnya di sana bisa menentukan masakan apa yang ingin mereka santap saat sahur dan berbuka.
"Makanan khas Ramadan seperti kolak, gorengan, dan kudapan-kudapan khas kedaerahan nggak terlalu sulit ditemui, karena bahan dasarnya cukup mudah didapatkan di pasar-pasar dan supermarket. Jadi banyak yang memasaknya untuk dimakan bersama keluarga dan kolega. Sedangkan menu khas Taiwan yang biasa dimakan adalah niorou mien (mie sapi) yang dijual oleh warga Muslim asli Taiwan. Selebihnya menu-menu vegetarian juga bisa menjadi opsi untuk menemani waktu berbuka," jelasnya.
Sebagai informasi, Wandi awalnya datang ke Taiwan pada September 2017. Untuk kuliah program Master di Center for Space and Remote Sensing Research (CSRSR) kampus National Central University (NCU). Dia kemudian melanjutkan ke program PhD di departemen dan kampus yang sama sejak September 2019.