Anggota KPU RI 2022-2027 Hasyim Asy'ari menilai yang menjadi objek gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) adalah Keputusan Presiden (Keppres) yang menindaklanjuti putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Adapun putusan DKPP-nya final.
Hal itu menanggapi Putusan MK No. 32 Tahun 2022.
"Sehubungan dengan Putusan MK tersebut, bila terdapat pihak yang keberatan terhadap sanksi pemberhentian seseorang sebagai penyelenggara pemilu, sekali lagi, bukan Putusan DKPP sebagai obyek gugatan ke PTUN, melainkan sebagai obyek gugatan adalah Keppres, SK KPU dan SK Bawaslu," kata Hasyim Asy'ari kepada wartawan, Kamis (31/3/2022).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Salah satu alasan putusan DKPP tidak bersifat final, sebagai satu syarat keputusan objek TUN dalam hal pemberhentian, dapat dilihat dalam Pasal 38 ayat (3) UU 7/2017 :
Dalam hal rapat pleno DKPP memutuskan pemberhentian anggota..., anggota yang bersangkutan diberhentikan sementara sebagai anggota KPU, KPU Prov, KPU Kab/Kota sampai dengan diterbitkan keputusan pemberhentian.
Pasal 37 ayat (3) UU 7/2017 menentukan:
a. Anggota KPU diberhentikan oleh Presiden.
b. Anggota KPU Prov diberhentikan oleh KPU.
c. Anggota KPU diberhentikan oleh KPU.
"Dengan demikian, baik dalam Putusan MK 31/2013 maupun Putusan MK 32/2022, menentukan objek TUN-nya, yakni keputusan Presiden, KPU dan Bawaslu sebagai pelaksanaan Putusan DKPP," ujar Hasyim Asy'ari.
Karena itu amar 2 Putusan MK 32/2022 menegaskan:
Putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (10) mengikat bagi Presiden, KPU, KPU Provinsi dan Bawaslu adalah merupakan keputusan pejabat TUN yang bersifat konkret, individual, dan final, yang dapat menjadi objek TUN.
Salah satu pertimbangan MK dalam putusan 31/2013 pada halaman 71-72 (3.19) paragraf 4:
Menurut Mahkamah, sanksi yang diputus oleh DKPP adalah sanksi pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh pejabat atau perseorangan penyelenggara Pemilu. Putusan DKPP bersifat final dan mengikat bagi Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota maupun Bawaslu. Tindak lanjut keputusan DKPP yang dilakukan oleh Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota maupun Bawaslu adalah keputusan tata usaha negara (TUN) yang melaksanakan urusan pemerintahan yang bersifat individual, kongkrit, dan final. Oleh karena itu hanya keputusan Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota maupun Bawaslu tersebut yang dapat menjadi objek sengketa gugatan di peradilan TUN.
"Yang dimaksud final dan mengikat bagi Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kab/Kota, dan Bawaslu adalah bahwa Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kab/Kota, dan Bawaslu hanya menindaklanjuti Putusan DKPP yang produknya dapat menjadi objek gugatan pada Pengadilan TUN. Sehingga dengan demikian dalam konteks ini Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kab/Kota, dan Bawaslu sebagai atasan langsung yang berwenang mengangkat dan memberhentikan penyelenggara Pemilu sesuai tingkatannya, tidak mempunyai kewenangan untuk berpendapat berbeda yang bertentangan dengan Putusan DKPP ataupun Putusan PTUN yang mengkoreksi ataupun menguatkan Putusan DKPP," ucap alumnus Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman (FH Unsoed) Purwokerto itu.
Secara substantif, kata Hasyim, DKPP harus bertanggung jawab terhadap materi putusannya. Karena substansi putusan DKPP dapat diuji oleh PTUN melalu gugatan terhadap Kepres, SK KPU dan SK Bawaslu, sebagaimana telah dipraktikkan dalam perkara Kak Evi.
Lalu apa konsekuensi Putusan JR MK kali ini?
"Pasca-putusan MK ini, kalau kemudian ada Putusan PTUN yang mengabulkan gugatan Keputusan Pemberhentian Anggota KPU daerah karena dampak putusan DKPP misalnya, KPU jadi tidak bisa menggunakan alasan final dan mengikat kembali. Karena ketundukan pada sifat final dan mengikatnya DKPP sudah dilakukan pada saat menerbitkan SK. Kalau SK-nya digugat ke PTUN dan ternyata penggugat menang, mau tidak mau harus dilaksanakan dengan pengangkatan kembali," jawab Hasyim tegas.
Lalu muncul pertanyaan selanjutnya, dalam konteks demikian, DKPP ini masuk kategori 'makhluk' apa? Bila DKPP adalah eksekutif (penyelenggara pemilu), produk hukumnya adalah keputusan. Tapi bila DKPP adalah peradilan, produk hukumnya adalah putusan.
"Dalam Putusan MK dinyatakan bahwa DKPP bukan lembaga peradilan. Namun dalam putusan MK yang sama, MK menggunakan istilah putusan DKPP. Dengan demikian, MK secara diam-diam mengakui DKPP adalah lembaga peradilan, karena mengakui keberadaan putusan DKPP," beber Hasyim.
Maka, kata Hasyim, sampai di sini dapat dimaknai bahwa DKPP adalah lembaga 'semiperadilan', yaitu wewenangnya memeriksa dan memutus dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu. Putusan DKPP tentang pemberhentian seseorang sebagai Anggota KPU/Bawaslu/Provinsi/Kab/Kota tidak serta merta menjadikan seseorang berhenti sebagai penyelenggara pemilu, namun putusan DKPP tersebut bersifat final dan mengikat hanya terhadap Presiden, KPU, dan Bawaslu, karena merekalah yg berwenang mengangkat seseorang dalam jabatan sebagai penyelenggara pemilu, maka konsekuensinya pada merekalah wewenang memberhentikan seseorang dari jabatan penyelenggara pemilu.
"Hal ini sesuai dengan Asas Contrarius Actus yaitu asas dalam hukum administrasi negara yang maknanya adalah asas yang menyatakan Badan atau Pejabat TUN yang menerbitkan Keputusan TUN dengan sendirinya juga berwenang untuk membatalkannya," papar Hasyim Asy'ari.
Bila demikian halnya, menempatkan putusan DKPP yang memberhentikan seseorang sebagai penyelenggara pemilu, sebagai obyek gugatan ke PTUN adalah tidak tepat. Mengapa? Karena sama dengan memberikan wewenang kepada pihak yang tidak berwenang, dan dalam waktu yg bersamaan merenggut wewenang Presiden, KPU, dan Bawaslu. Sebagai konsekuensinya dalam mematuhi Asas Contrarius Actus tersebut pemberhentian sebagai penyelenggara pemilu menggunakan produk hukum berupa Keppres, SK KPU, dan SK Bawaslu, produk hukum tersebutlah yang dapat menjadi obyek gugatan ke PTUN, bukan putusan DKPP.
"Dengan demikian, sehubungan dengan putusan MK tersebut, bila terdapat pihak yang keberatan terhadap sanksi pemberhentian seseorang sebagai penyelenggara pemilu, sekali lagi, bukan putusan DKPP sebagai obyek gugatan ke PTUN, melainkan sebagai obyek gugatan adalah Keppres, SK KPU, dan SK Bawaslu," Hasyim Asy'ari menegaskan.