PT SK Plasma asal Korea Selatan dengan PT Binabakti Niagaperkasa Indonesia sepakat untuk membuat badan usaha bersama dengan mendirikan pabrik fraksionasi plasma pertama di Indonesia. Ketua MPR RI Bambang Soesatyo (Bamsoet) mendukung rencana pendirian pabrik tersebut.
"PT Binabakti Niagaperkasa Indonesia akan menyiapkan lahan pabrik sekaligus menyelesaikan berbagai perizinan terkait yang diperlukan. Sementara PT SK Plasma akan menyiapkan sumber daya manusia dan teknologi," terang Bamsoet melalui keterangannya, Kamis (24/3/2022).
Hal itu diucapkannya saat menyaksikan penandatanganan nota kesepahaman antara kedua belah pihak. Bamsoet mengatakan pembangunan pabrik fraksionasi plasma itu ditargetkan rampung dua tahun ke depan.
Keberadaan pabrik itu juga sejalan dengan Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2016 tentang Percepatan Pengembangan Industri Farmasi dan Alat Kesehatan, Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2011 tentang Pelayanan Darah, dan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 15 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Fraksionasi Plasma.
Secara sederhananya, terang Bamsoet, fraksionasi plasma merupakan pemilahan derivat plasma menjadi produk plasma dengan menerapkan teknologi dalam pengolahan darah. Hasil produknya antara lain albumin, faktor VIII atau antihemophilic factor (AHF), dan imunoglobulin.
Produk itu kemudian digunakan oleh industri farmasi untuk menolong orang sakit, khususnya yang dalam keadaan kritis. Sayangnya, hingga saat ini Indonesia masih bergantung kepada impor dalam memenuhi kebutuhan produk plasma tersebut. Maka, kerja sama antara dua belah pihak tersebut diharapkan bisa meningkatkan kemandirian industri plasma dalam negeri.
"Sekaligus memastikan agar ke depannya Indonesia bisa menjadi eksportir produk plasma ke berbagai negara dunia. Langkah ini perlu didukung semua pihak, baik dari Kementerian Kesehatan serta berbagai kementerian/lembaga terkait," jelas Bamsoet.
Wakil Ketua Umum Partai Golkar itu menerangkan kebutuhan fraksionasi plasma secara global mencapai 25 juta liter per tahun, sebanyak 60 persen diantaranya berasal dari Amerika. Kebutuhan global produk plasma mencapai USD 21 triliun, sementara kebutuhan untuk industri farmasi dalam negeri diperkirakan mencapai Rp 1,15 triliun.
Meskipun sudah sudah melakukan impor derivat plasma, kebutuhan itu belum tercukupi. Bamsoet mengatakan bahan baku plasma di Indonesia melimpah, teknologi pengolahan darah tersedia, investor sudah siap sedia, begitu pula dengan market pasar yang terbuka lebar.
"Tinggal proses perizinan yang harus dilakukan secara cepat oleh Kementerian Kesehatan dan kementerian terkait lainnya," ujarnya.
"Jangan sampai karena terkendala birokrasi perijinan, potensi pengembangan industri fraksionasi plasma di Indonesia menjadi terhambat. Sehingga pada akhirnya negaralah yang dirugikan karena kehilangan potensi pendapatan melalui pajak," pungkas Bamsoet.
Turut hadir antara lain Direktur PT Binabakti Niagaperkasa Indonesia Andri Noviar, Vice President SK Plasma Kim Sun Ju, Manager SK Plasma Kim Jong Hun dan Jung Sung A, CEO Tae Chang Industrial Korea Han Jin In, CEO Tae Chang Indofarma Rusdi Rosman, serta Prof. Keri Lestari dari Universitas Padjajaran.
(ncm/ega)