Menag Sanggah Pendeta Saifuddin Ibrahim soal Pesantren Lahirkan Kaum Radikal

Tim detikcom - detikNews
Rabu, 16 Mar 2022 22:09 WIB
Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas (Andhika Prasetia/detikcom)
Jakarta -

Menko Polhukam Mahfud Md mengecam Pendeta Saifuddin Ibrahim dalam tayangan YouTube berjudul 'Tanggapan Menko Polhukam Terkait Pendeta Saifuddin Ibrahim.' Kecaman juga datang dari Kemenag, termasuk Menag Yaqut Cholil Qoumas, yang menyanggah Saifuddin Ibrahim.

Hal itu disampaikan Plt Kepala Biro Humas, Data, dan Informasi Thobib Al Asyhar. Thobib mengatakan Yaqut menyanggah jika pesantren disebut melahirkan kaum radikal.

"Tidak pada tempatnya Pendeta Saifuddin mengklaim pesantren melahirkan kaum radikal. Dia lupa bahwa Gus Menteri terlahir dari lingkungan pesantren dan juga keluarganya memiliki pesantren. Tentu Menag tidak setuju dengan pernyataan Pendeta Saifuddin," kata Thobib dalam keterangannya, Rabu (16/3/2022).

Thobib menyayangkan statement Saifuddin Ibrahim. Dia juga menilai Saifuddin Ibrahim bisa mengganggu kerukunan antarumat.

"Saya melihat, apa yang dilakukan Pendeta Saifuddin justru dapat mengganggu kerukunan antarumat dan upaya menguatkan moderasi beragama," ucapnya.

Yaqut, lanjut Thobib, kerap mengajak tokoh agama untuk tidak menyampaikan pendapat yang bukan menjadi kompetensinya. Dia mengatakan para tokoh agama termasuk Saifuddin Ibrahim harus mengedepankan merajut kerukunan.

"Gus Menteri selama ini terus mengajak tokoh agama menjaga kerukunan," ucapnya.

Dia juga mengatakan Yaqut tidak mengenal Saifuddin Ibrahim. Dia mengatakan selama ini tidak pernah ada pertemuan resmi antara Menag Yaqut dan Saifuddin Ibrahim.

"Gus Menteri (Yaqut) tidak kenal dengan Pendeta Saifuddin Ibrahim. Gus Menteri tidak pernah mendengar apa yang diklaim Pendeta Saifuddin berulang kali dikatakan ke Menag," tegasnya.

Respons Mahfud Md

Mahfud menuturkan ada Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 1965 yang mengatur Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama telah diperbarui menjadi UU No 5 Tahun 1969. Dia mengatakan UU tersebut bisa dijadikan sebagai dasar untuk memproses Saifuddin. Dia mengatakan, dalam ajaran pokok Islam, dalam Al-Qur'an terdapat 6.666 ayat, tidak boleh ada yang dikurangi.

"Saya ingatkan UU No 5/1969 yang diperbarui dari UU PNPS No 1/1965 yang dibuat Bung Karno tentang penodaan agama itu mengancam hukuman tidak main-main, lebih dari 5 tahun hukumannya yaitu barang siapa yang membuat penafsiran atau memprovokasi dengan penafsiran suatu agama yang keluar dari penafsiran pokoknya. Ajaran pokok itu dalam Islam itu Al-Qur'an itu ayatnya 6.666 tidak boleh dikurangi berapa yang disuruh cabut 3.000 atau 300 itu," ujarnya.

Mahfud menyampaikan mengurangi ayat Al-Qur'an sama dengan melakukan penistaan terhadap Islam. Mahfud menyebut berbeda pendapat tak jadi masalah, asalkan pendapat yang dilontarkan tidak menimbulkan kegaduhan.

"300 misalnya, itu berarti penistaan terhadap Islam. Apalagi mengatakan konon bahwa Nabi Muhammad itu bermimpi bertemu Allah dan sebagainya itu menyimpang dari ajaran pokok," ucapnya.

"Kita boleh beda pendapat, tetapi jangan menimbulkan kegaduhan. Itulah sebabnya dulu, karena dulu banyak orang begitu Bung Karno membuat PPNS No 1/65 yang mengancam siapa yang menodai agama jangan dihajar oleh masyarakat tetapi dibawa ke pengadilan. Ini kan masyarakat sekarang sudah mulai berfikir ini orang siapa ini, jangan, itu bawa ke pengadilan," lanjutnya.




(idn/aik)

Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork