Seorang anak di Marunda, Jakarta Utara (Jakut), Raihan (9), harus menjalani transplantasi kornea mata diduga akibat polusi batu bara di kawasannya. Sambil menangis, orang tua anak menceritakan awal mula anaknya sakit.
Saat ditemui detikcom di rumahnya, Rusunawa Marunda Blok A 10, ibu korban, Saras (39), mengatakan awalnya, pada 2019, Raihan pulang sekolah dengan mata merah. Saat itu, korban masih duduk di kelas 1 SD dan berumur 7 tahun.
"Awalnya itu kelilipan itu November 2019. Itu lagi musim angin dulu, tapi kita nggak tahu itu debu atau bukan. Waktu pulang sekolah dia bilang memang, cuman kenanya di mana, nggak tahu," kata Saras, Selasa (15/3/2022).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saras menuturkan, saat dicek, kondisi mata korban makin merah meradang dan bengkak. Selain itu, korban merasakan perih dan panas pada matanya.
"Dia bilang pas matanya sudah merah, bengkak gitu, sore. Tapi merahnya itu beda, merah merona gitu, penuh. Dia bilang waktu itu matanya perih, panas gitu. Saya tanya, kok mata kamu merah, katanya kelilipan," ujar Saras menirukan kalimat pertanyaannya kepada Raihan.
Saras mengatakan kondisi mata anaknya tak kunjung membaik di hari ketiga. Bahkan, saat dicek, ada cairan nanah di bola mata Raihan.
"Pikiran kita kan debu biasa, alergi. Eh, tapi selang dua hari, tiga hari, dia nggak mau melek, merem aja. Katanya perih, panas. Pas saya buka matanya, ada nanah gitu di mata korneanya gitu," cerita Saras.
Saras menuturkan korban sempat dilarikan ke puskesmas, namun dirujuk ke Rumah Sakit Hermina. Namun, karena kurangnya alat di RS Hermina, kemudian korban dirujuk ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo.
Setelah melakukan serangkaian pemeriksaan, keesokan harinya korban dibawa lagi. Namun betapa kagetnya ketika melihat mata anaknya sudah berwarna putih semua, layaknya orang katarak.
"Paginya ke sana lagi, terus masa penyembuhan dilihat sampai mana. Tahunya pas kering, matanya yang hitam (berubah) putih semua, kayak orang yang katarak. Kirain aku juga katarak," jelasnya.
Simak selengkapnya di halaman berikutnya.
Menurut Saras, kondisi yang dialami anaknya itu disebut ulkus kornea. Setelah berkonsultasi dengan dokter, dia mengatakan, anaknya harus menjalani operasi transplantasi kornea.
"Saya tanya ke dokter, 'Kalau gitu bisa operasi, kan, Dok, dikorek?'. Tapi kata dokter, 'Itu permanen, Bu. Itu sudah nggak bisa'. Jadi kena nya ulkus kornea," ungkap Saras.
"Saya tanya jalan keluarnya gimana, ini sudah kelihatan kan rusaknya. Dia bilang, 'Kalau memang ibu mau mata anaknya normal lagi, donor,' katanya," lanjut Saras.
Terima Donor Kornea dari Nepal
Saras mengatakan proses transplantasi kornea mata terjadi satu tahun kemudian karena terkendala banyak hal. Hingga akhirnya, pada Februari 2021, anaknya menjalani operasi kornea dengan donor mata dari Nepal.
"Kita nunggu, sampai saya bilang ke rumah sakit, kita sudah transfer, kenapa nggak dapat donor terus. Apa buat orang lain terus atau gimana," kata dia.
"Karena ada Corona kan, jadi penerbangan kan susah. Kita nyari lokal, tapi jarang. Kita nunggu sampai setahun, baru di Februari 2021 dapat donor imbuhnya.
Diketahui, Saras harus mengeluarkan uang sebesar Rp 12 juta untuk mendapatkan donor kornea anaknya tersebut. Namun untungnya saat itu proses operasinya ditanggung program BPJS.
"Kalau dulu Rp 12 juta. Nggak di-cover sama BPJS. Alhamdulillah operasinya di-cover. Kalau nggak di-cover, kita dapat duit sebanyak itu dari mana," ucap dia.
"Kita saja sambil nangis ke dokternya nanya, kalau saya udah dapat donornya, operasinya pakai duit nggak? Kata dokter nggak, alhamdulillah yang pakai dana itu korneanya saja," lanjut dia.
![]() |
Penyebab Diduga Abu Batu Bara Masuk Mata
Saat ditanya penyebab, Saras mengatakan pihaknya hingga kini belum bisa menyimpulkan. Namun hal itu diduga akibat abu batu bara yang masuk ke mata.
"Dia juga nanya ke kita, kenapa anaknya. Saya ceritakan lah kelilipan. Mungkin ya tangannya kotor, kita kan nggak tahu. Mungkin dikucek sampai alergi infeksi. Kita nggak tahu juga, praduga kita nggak nentuin juga ini gara-gara ini (batu bara)," tuturnya.
Simak selengkapnya di halaman berikutnya.
Saras mengatakan dokter sempat kesulitan untuk menyimpulkan penyebabnya. Sebab, saat itu kondisi mata korban sudah rusak.
Sudah rusak, susah juga. Intinya kelilipan, terus dikucek, jadi kegesek, makanya infeksi. Tapi orang bilang masa iya sih kelilipan sampai gitu, kalau kelilipan biasa nggak kayak gitu," kata dia.
Dugaan tersebut juga diperkuat oleh lokasi SDN 05 Marunda tempat Raihan bersekolah berdampingan dengan lokasi bongkar-muat batu bara.
"Ditambah Raihan juga kan sekolah di SDN 05 Marunda yang deket banget sama batu bara itu. Makanya orang berpikiran kalau debu biasa nggak gitu. Kalau karena batu bara bisa jadi, soalnya kan lingkungan kita emang terdampak juga," kata Saras.
Kondisi Mata Korban Membaik
Saras mengatakan hingga kini kondisi mata anaknya sudah beranjak membaik. Namun mata hasil transplantasi tersebut tidak bisa melihat secara maksimal.
Selain itu, Saras mengatakan hingga kini masih ada sekitar 11 jahitan di bola matanya. Setiap dua bulan sekali, kata dia, korban masih harus melakukan pengecekan ke dokter.
![]() |
"Nggak ada keluhan kata Raihan. Tapi pandangannya, tulisan kecil itu nggak kelihatan. Alhamdulillah tapi udah ngelihat. Mata sebelah kanan itu, matanya sekarang agak jereng. Namanya kan bukan mata sendiri ya," kata dia.
"Alhamdulillah, tapi masih pakai obat, tetes mata gitu. Terus masih kontrol gitu ke rumah sakit dua bulan sekali. Tapi benangnya masih banyak. Tadinya 16, sekarang tinggal 11," sambungnya.
Saras berharap donor mata yang diterima anaknya itu cocok sehingga tidak perlu dilakukan operasi transplantasi kornea lagi. Selain itu, dia berharap pemerintah segera sigap membenahi permasalahan pencemaran lingkungan yang ada.
"Mudah-mudahan donor itu seumur hidup, karena kan yang nggak cocok itu mental, jadi bisa beberapa kali. Semoga permasalahan lingkungan ini cepat selesai, soalnya kan ini daerah kita tercemar gara-gara itu," pungkasnya.