Ketua MK, Dulu Tolak Kini Mau Terima Gelar Profesor Kehormatan

Andi Saputra - detikNews
Minggu, 13 Mar 2022 09:13 WIB
Ketua MK Anwar Usman (YouTube Sekretariat Presiden)
Jakarta -

Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman menerima gelar Profesor kehormatan dari Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang. Jauh sebelumnya, Anwar Usman mengaku memilih menolak pemberian gelar profesor kehormatan.

Dalam catatan detikcom, Minggu (13/2/2022), pengakuan Anwar Usman itu disampaikan sendiri dalam sidang di MK pada September 2021. Saat itu, Anwar Usman sedang mengadili judicial review 'kartel' profesor.

"Saya sendiri terus terang saja ada juga yang tanya, 'Kok nggak mau ini (gelar profesor, red)?' Nggaklah, saya melihat beliau-beliau ini yang dengan susah payah untuk mencapai profesor, itu kan luar biasa," kata Anwar Usman.

Sidang 'kartel' profesor ini diajukan oleh dosen Departemen Matematika Fakultas MIPA Universitas Indonesia (UI) Dr Sri Mardiyati yang sudah lolos syarat profesor dari UI tapi tidak dikabulkan oleh Mendikbudristek. Oleh sebab itu, Sri melakukan judicial review UU Guru dan Dosen ke MK.

"Akhir-akhir ini, saya juga terus terang mendengar keluh kesah dari rekan-rekan dosen yang dengan susah payah untuk mencapai puncak, entah karir atau profesi jabatan fungsional seperti yang disampaikan oleh Yang Mulia Pak Suhartoyo. Tetapi di sisi lain, begitu mudahnya juga ada orang-orang yang bisa mencapai itu, sehingga tadi betul apa yang disampaikan oleh Yang Mulia Prof Saldi. Jadi untuk membedakan, misalnya profesor yang artinya asli dari kampus, yang menapaki jenjang karir sampai puncak itu, dengan yang, mohon maaf seperti, ya katakanlah mungkin bisa seperti doktor honoris causa," tutur Anwar.

Dalam sidang itu, Wakil Ketua MK Aswanto juga membuka bobroknya proses meraih profesor di Indonesia. Aswanto pernah menjadi Dekan FH Universitas Hasanuddin sehingga dia paham proses pengajuan dosen menjadi profesor.

Aswanto mencontohkan ada kolega dosennya sudah lolos penilaian oleh kampus, baik di tingkat departemen, lalu naik ke fakultas dan terakhir di universitas. Namun saat dimintai persetujuan ke Kemendikbudristek, koleganya gagal meraih profesor dengan alasan koleganya menulis tulisan ilmiah di jurnal bodong.

"Padahal sebelumnya sudah banyak kolega lain yang menggunakan jurnal itu dan tidak ada masalah," tutur Aswanto.

Simak juga 'MK Tangani 277 Perkara-Hasilkan 253 Putusan Sepanjang 2021':






(asp/rdp)

Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork