Kepala Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS Arya Fernandes menilai alasan perpanjang masa jabatan presiden tidak masuk akal. Selain hanya akan akan berimbas buruk terhadap partai politik (parpol) dan politikus, Arya menyebut UUD 1945 juga tak memberi ruang. Ini sederet alasan mengapa perpanjangan masa jabatan Presiden Joko Widodo (Jokowi) tak masuk akal.
Arya mengawalinya dengan menjabarkan dampak buruk bagi parpol dan politisi yang mendukung perpanjangan masa jabatan Jokowi. Dampaknya pun tak main-main!
"Partai-partai yang mendorong perpanjangan masa jabatan, saya yakin mereka akan mendapat disinsentif atau kehilangan suara," kata Arya kepada wartawan, Jumat (25/2/2022).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Arya menuturkan sikap mendorong agar aspirasi perpanjang masa jabatan presiden adalah gambaran komitmen parpol-parpol atau politikus tersebut terhadap demokratisasi di Tanah Air.
"Jadi bagaimana sikap partai terhadap perpanjangan masa jabatan ini akan mempengaruhi suara mereka juga pada akhirnya. Ini menunjukkan bagaimana komitmen partai-partai itu terhadap demokratisasi," ucapnya.
Seperti diketahui, aspirasi perpanjang masa jabatan presiden kembali mencuat setelah Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar atau Cak Imin memberi usul agar Pemilu 2024 ditunda 1-2 tahun. Alasannya, Pemilu 2024 berpotensi mengganggu perbaikan ekonomi Indonesia.
Namun Arya menjabarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang 180 derajat berbeda dengan yang dikhawatirkan Cak Imin. Yang mana, menurut BPS, ekonomi Indonesia justru sedang membaik. Bahkan, sebut Arya, Bank Indonesia sendiri memprediksi pertumbuhan ekonomi tahunan Indonesia pada 2022 akan naik ke angka 4,7-5,5 persen (2021 sebesar 3,39 persen).
"Argumen saya adalah saat ini justru ekonomi kita, menurut BPS, tengah membaik ya. Bahkan dibandingkan 2020, di mana saat itu pertumbuhan ekonomi kita itu minus sekitar 2,07 persen, di tahun 2021 ekonomi kita tumbuh year-on-year sekitar 3,39 persen. Bank Indonesia memprediksi di tahun 2022 pertumbuhan ekonomi tahunan kita sebesar 4,7-5,5 persen. Artinya, sekarang ekonomi kita sedang membaik," papar Arya.
"Jadi, alasan stagnasi ekonomi untuk mendukung masa perpanjangan masa jabatan presiden itu tidak masuk akal," sambungnya.
Arya kemudian menyinggung soal alasan yang menyebut masyarakat mendukung perpanjangan masa jabatan Jokowi. Memang ada sejumlah elite parpol yang mengaku mendengar langsung masyarakat mendukung masa jabatan Jokowi diperpanjang.
Arya menyebut alasan yang dikemukakan itu tak berdasarkan data. Sebab, sebut dia, berdasarkan hasil survei Indikator Politik Indonesia pada September dan Desember 2021, ada 70 persen responden yang menolak masa jabatan Jokowi diperpanjang.
"Kalau saya mengutip hasil survei Indikator Politik itu, mayoritas publik, baik pada survei yang dilakukan di bulan September maupun bulan Desember 2021, itu menunjukkan lebih dari 70 persen responden menolak perpanjangan masa jabatan presiden," ujar dia.
Simak di halaman selanjutnya argumentasi inti mengapa aspirasi perpanjang masa jabatan Jokowi harus ditolak.
Konstitusi Tolak Perpanjang Jabatan Jokowi!
Sebetulnya argumentasi inti mengapa perpanjangan masa jabatan Jokowi harus ditolak ada dalam penjelasan Arya di bawah ini.
Arya mulanya mengulas soal sistem presidensial yang digunakan dalam menjalankan pemerintahan Indonesia. Mantan peneliti Charta Politika Indonesia itu menyebut, dalam sistem presidensial, ada istilah fix term limit.
"Presidensial itu dikenal adanya fix term limit, yaitu pembatasan masa jabatan presiden," ucapnya.
Kemudian amanat UUD 1945. Menurut Arya, UUD 1945 sendiri tidak memberikan ruang untuk memperpanjang masa jabatan presiden.
"Di negara kita, berdasarkan konstitusi atau UUD 1945 dalam Pasal 7 bahwa, 'presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali hanya untuk satu kali masa jabatan'," sebutnya.
"Artinya, konstitusi kita tidak memberikan ruang untuk perpanjangan masa jabatan," lanjut dia.
Baca juga: Ketum PAN Juga Setuju Pemilu 2024 Ditunda |
Selain itu, Arya menganggap perpanjangan masa jabatan Jokowi tidak sesuai dengan prinsip fix term election sebagaimana disebutkan dalam undang-undang (UU) karya para politikus, yang mungkin mendukung perpanjangan masa jabatan Jokowi.
Berdasarkan prinsip fix term election, sebut Arya, perpanjangan masa jabatan Jokowi justru membuat regenerasi kepemimpinan nasional jadi berantakan.
"Fix term election itu di UU disebutkan, periode pemilu itu dilaksanakan lima tahun sekali. Artinya, kalau ada perpanjangan masa jabatan, tentu juga akan mempengaruhi suksesi kepemimpinan nasional, baik di tingkat eksekutif dan legislatif, itu akhirnya berantakan," ucapnya.
Baca argumentasi lainnya di halaman selanjutnya.
Arya: Nggak Mungkin Ada Plt Presiden
Arya juga menjelaskan soal prinsip tertib politik yang dilanggar jika perpanjangan masa jabatan presiden terealisasi. S2 lulusan Universitas Paramadina itu mengingatkan bahwa masa jabatan Presiden RI sudah 'ditakdirkan' 5 tahun, dan hanya boleh menjabat selama dua periode.
"Ketiga, kenapa dia ditolak, karena dia mengingkari prinsip-prinsip pentingnya tertib politik. Tertib politik itu maksudnya pemilu dilakukan secara berkala lima tahun sekali, masa jabatan presiden juga lima tahun sekali dan hanya dapat diperpanjang lima tahun sekali, gitu," ujarnya.
Lalu bagaimana dengan Pilkada 2020? Bukankah juga ditunda?
Arya punya alasan mengapa Pilkada 2020 ditunda. Arya memahami penundaan Pilkada 2020 karena situasi yang benar-benar tidak memungkinkan. Dan meskipun ditunda, sebut dia, masa jabatan kepala daerahnya tetap sesuai UU.
"Meskipun pilkada ditunda, tapi kan masa jabatan kepala daerahnya nggak berubah, tetap sesuai masa akhir jabatan," katanya.
"Ini (perpanjangan masa jabatan presiden) kan nggak mungkin. Ini kan dua tahun lagi 2024. Kenapa ngomong-nya dari sekarang? Itu juga nggak masuk akal. Nggak mungkin juga ada plt presiden," pungkas Arya.