Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan digugat sejumlah warga ke Mahkamah Agung (MA) terkait peraturan ganjil-genap (gage). Warga menilai Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 88 Tahun 2019 membuat warga yang keluar tol di jalan jalur gage langsung ditilang.
"Keluar tol kok ditilang. Kan kita masuk tol bayar, kok keluar nggak boleh. Malah ditilang," kata salah satu penggugat, Dhimas Pradana, yang juga warga Kota Bekasi, kepada wartawan, Senin (21/2/2022).
Gugatan ini juga diajukan oleh Heru Widodo (warga Kota Bekasi), Imam Anshori Saleh (warga Cipayung), Supriyadi (warga Bandar Lampung), Endin Amirusin Dahlan (warga Bandung Barat), Ferdiaz Muhammad (warga Cakung), dan Janwardisan Hernandika (warga Kota Bekasi).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pergub yang dimaksud ialah Peraturan Gubernur Nomor 88 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 155 Tahun 2018 tentang Pembatasan Lalu Lintas Dengan Sistem Ganjil Genap tertanggal 6 September 2019
Dhimas mengatakan Pergub terbaru itu membuat ruas jalan gage makin luas. Masalahnya, Pergub itu juga berlaku bagi pemobil yang keluar langsung dari tol yang berada di jalur gage.
"Kalau aturan lama, gage tidak berlalu bagi pengendala mobil yang exit tol hingga persimpangan terdekat.Begitu sebaliknya. Kalau sekarang, tidak. Jadi kalau saya dari Cawang, lalu keluar di exit Tol Semanggi, maka langsung ditilang. Ini kan nggak adil," ujar Dhimas.
Dia mengatakan hal itu juga berlaku di beberapa exit tol lain. Seperti di exit Tol Pancoran, exit Tol Rawamangun atau exit Tol Becakkayu. Sayangnya, tidak ada pemberitahuan di setiap exit tol akan ditilang karena masuk jalur ganjil-genap.
"Peraturan ini berpotensi merugikan banyak masyarakat. Kalau saya mau keluar menuju Senayan, lewat mana saya exit tolnya? Kan jauh banget mutarnya," kata Dhimas.
Dhimas menepis ada muatan politis di balik gugatan itu. Dia mengaku hanya ingin meluruskan peraturan yang ada. Gugatan di atas sudah didaftarkan ke MA akhir pekan lalu.
"Tidak ada maksud politik, semata-mata karena berpotensi ditilang bila keluar tol," ucap Dhimas.
Dhimas dkk meminta MA menyatakan Pasal I angka 1 Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 88 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 155 Tahun 2018 tentang Pembatasan Lalu Lintas Dengan Sistem Ganjil Genap tertanggal 6 September 2019 batal demi hukum. Dhimas dkk beralasan, perluasan larangan ganjil genap di 25 ruas jalan umum dan 28 ruas gerbang tol bertentangan dan tidak sejalan dengan:
- bertentangan dengan Pasal 44 ayat (1) dan ayat (3) UU No. 38 Tahun 2004 tentang Jalan,
- bertentangan dengan Pasal 8 dan Pasal 88 PP No. 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol;
- bertentangan dengan asas kejelasan tujuan pembentukan peraturan perundang- undangan, sebagaimana diatur dalam Pasal 5 huruf a UU No. 12 Tahun 2011;
- bertentangan dengan asas "ketertiban dan kepastian hukum" sebagaimana diatur dalam pasal 6 huruf i UU No. 12 Tahun 2011; dan
- bertentangan asas pengayoman dan asas keadilan, sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal 6 ayat (1) huruf a dan huruf g UU No. 12 Tahun 2011.
Simak selengkapnya di halaman selanjutnya.
Menurut ketentuan Pasal 44 ayat (1) dan (3) UU Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan, ditegaskan bahwa Jalan Tol sebagai bagian dari sistem jaringan jalan umum mempunyai spesifikasi dan pelayanan yang lebih tinggi daripada jalan umum yang ada.
"Di antara jalan tol dengan jalan umum, menurut ketentuan Pasal 1 angka 3 Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol, terdapat 'jalan penghubung', yang berfungsi menghubungkan pintu keluar jalan tol menuju jalan umum dan sebaliknya, jalan yang menghubungkan dari jalan umum ke gerbang pintu masuk tol," ujar Dhimas.
"Pembatasan dan/atau pelarangan terhadap pengendara mobil pribadi berpelat nomor ganjil pada tanggal genap dan sebaliknya pada waktu tertentu - incasu pada pukul 06.00 sampai dengan 10.00 WIB dan 16.00 sampai dengan 21.00 WIB, untuk melintasi jalan penghubung, baik untuk keluar tol ataupun masuk tol di 28 gerbang tol di Jakarta, telah meniadakan fungsi pelayanan yang tinggi dari jalan tol, dan tidak selaras serta bertentangan dengan tujuan dan fungsi dibuatnya jalan tol sebagai jalan berbayar yang berbeda pelayanannya dengan penggunaan jalan umum, dan yang kualifikasi penggunanya, bisa mobil pribadi jarak dekat, bisa pula mobil pribadi jarak jauh antar kota antar provinsi, yang tidak seluruhnya dapat disubstitusikan atau dipindahkan atau dialihkan ke moda angkutan umum," ucap Dhimas.
25 ruas jalan yang dikenai aturan ganjil genap adalah:
Jalan Pintu Besar Selatan;
Jalan Gajah Mada;
Jalan Hayam Wuruk;
Jalan Majapahit;
Jalan Medan Merdeka Barat;
Jalan M.H. Thamrin;
Jalan Jenderal Sudirman;
Jalan Sisingamangaraja;
Jalan Panglima Polim;
Jalan Fatmawati mulai dari Simpang Jalan Ketimun 1 sampai dengan Simpang
Jalan TB Simatupang;
Jalan Suryopranoto;
Jalan Balikpapan;
Jalan Kyai Caringin;
Jalan Tomang Raya;
Jalan Jenderal S. Parman mulai dari Simpang Jalan Tomang Raya sampai
dengan Jalan Gatot Subroto;
Jalan Gatot Subroto;
Jalan M.T. Haryono;
Jalan H.R. Rasuna Said;
Jalan D.I. Panjaitan;
Jalan Jenderal A. Yani mulai dari Simpang Jalan Bekasi Timur Raya sampai
dengan Simpang Jalan Perintis Kemerdekaan;
Jalan Pramuka;
Jalan Salemba Raya Sisi Barat;
Jalan Salemba Raya Sisi Timur mulai dari Simpang Jalan Paseban Raya
sampai dengan Simpang Jalan Diponegoro;
Jalan Kramat Raya;
Jalan St. Senen; dan
Jalan Gunung Sahari.
"Dengan berlakunya Pergub DKI Jakarta No 88/2019, pengguna jalan tol dilarang melintas, meskipun hanya untuk melintas pada segmen persimpangan terdekat sampai dengan pintu masuk tol dan segmen pintu keluar tol sampai dengan persimpangan terdekat dari jalan-jalan yang ditetapkan sebagai wilayah pembatasan, dan kepada pengendara yang tetap melintas pada Kawasan tersebut dikenakan sanksi tilang," ucap penggugat.