Kiprah dosen senior Departemen Matematika Universitas Indonesia (UI), Sri Mardiyati, sudah diakui dunia sehingga layak diberi gelar profesor. Namun, mimpinya menjadi profesor ketiga di Departemen Matematika UI kandas di kantor Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).
"Saya masuk menjadi mahasiswa di Fakultas MIPA UI jurusan Matematika tahun 1974 dan lulus 1980," kata Sri dalam surat yang ditujukan ke MK sebagaimana dikutip detikcom, Kamis (3/2/2022).
Selepas lulus, Sri Mardiyati menjadi dosen di almamaternya dan diangkat menjadi PNS dosen setahun kemudian. Pendidikan S2 diselesaikan Sri Mardiyati di Fakultas Ilmu Komputer UI pada 1999. Setahun kemudian, ia terbang ke Australia untuk menempuh S3 di Department of Mathematics and Statistics, Curtin University.
"Saya juga harus membesarkan dan membimbing dua anak saya yang masih remaja di Perth," kisah Sri Mardiyati, yang kini menjadi nenek 3 cucu.
Semua jenjang kuliahnya diraih tidak mudah. Penuh dengan perjuangan, termasuk kiprahnya di dunia akademik. Banyak tulisannya menghiasi jurnal internasional. Salah satu paper Sri Mardiyati itu telah diperiksa dan dianggap layak oleh dua orang guru besar matematika ITB, yaitu Prof Dr Irawati, MS, dan Prof Dr Edy Tri Baskoro, MSc. Selain itu, paper Sri Mardiyati sudah diperiksa oleh editor dari jurnal yang semuanya guru besar matematika dari universitas di India, Turki, Brasil, China, Jepang, dan Amerika Serikat (AS). Penerbit paper ini menerbitkan jurnal di bidang matematika sebanyak 17 jurnal.
Atas karyanya, koleganya mendorong Sri Mardiyati agar memproses gelar profesor. Sebab, sepanjang Departemen Matematika FMIPA UI berdiri, baru ada 2 profesor. Yaitu Prof Djati Kerami (meninggal 24 Januari 2018) dan Prof Ny N Soemartojo (meninggal 12 Juni 2015).
"Sehingga sejak 2018, Departemen FMIPA tidak mempunyai guru besar," ujar Sri Mardiyati, yang kini menginjak usia 68 tahun.
Sehingga sejak 2018, Departemen FMIPA UI tidak mempunyai Guru BesarSri Mardiyati, dosen senior UI |
Apa daya, usahanya menemui jalan buntu. Kiprahnya di dunia akademik dimentahkan oleh Kemendibud dengan alasan jurnal internasional yang menerbitkan tulisannya sudah tidak terbit lagi. Padahal, jurnal itu diakui oleh Kemendikbud sebagai syarat meraih gelar profesor. Kemendikbud juga menuding Sri Mardiyati mengajukan administrasi terlambat, yaitu memroses satu bulan sebelum pensiun.
Alhasil, Sri Mardiyati mencari keadilan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta hingga Mahkamah Agung (MA). Jalur Mahkamah Konstitusi (MK) pun ia tempuh.
Sebab, penentu akhir di Kemendikbud adalah di Direktorat Jenderal (Ditjen) Sumber Daya Iptek dan Dikti. Hal itu mendasarkan pada Peraturan Menteri Nomor 92 Tahun 2014 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Penilaian Angka Kredit Jabatan Fungsional Dosen. Nah, Permen Nomor 92 itu merupakan turunan dari Pasal 50 ayat 4 UU Guru dan Dosen yang berbunyi:
Ketentuan lebih lanjut mengenai seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan pengangkatan serta penetapan jenjang jabatan akademik tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditentukan oleh setiap satuan pendidikan tinggi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Sri Mardiyati meminta Pasal 50 ayat 4 UU Guru dan Dosen dibatalkan.
"Meskipun bagi saya, seandainya permohonan ini dikabulkan oleh majelis hakim (MK, red), hampir dapat dipastikan saya tidak akan menikmati hasilnya. Mengingat putusan Mahkamah tidak berlaku surut," ujar Sri Mardiyati.
Sri Mardiyati kini mempercayakan kepada 9 hakim MK akan berpihak kepada kebenaran dan keadilan dengan memberi putusan terbaik bagi kepentingan dan kemajuan pendidikan tinggi.
"Apa pun yang majelis hakim putuskan, akan saya terima dengan lapang dada. Karena saya percaya 'Mahkamah Sejarah' akan mencatat permohonan saya ini dengan putusan majelis Yang Mulia, apa pun putusannya," tutur Sri Mardiyati, yang juga putri seorang guru di Solok, Sumatera Barat (Sumbar).
Lihat juga video 'Nadiem Tegas Perjuangkan Guru Honorer dalam Seleksi Guru PPPK':
(asp/dnu)