Mahkamah Agung (MA) melepaskan Kepala Desa Trimulyo, Jetis, Bantul, Yogyakarta, Mujono (52), dalam kasus korupsi proyek kios desa. MA menyatakan tindakan Mujono bukanlah perbuatan korupsi.
Kasus bermula saat Mujono selaku kades mengusulkan pembuatan kios untuk warga bisa berjualan. Rencananya, kios dibangun di atas tanah desa dengan pelaksana kepala dukuh, Suroto.
Proyek mulai berjalan sejak 2012 dengan luas kios di atas tanah 7.700 m2. Jumlah kios sebanyak 23 unit dengan harga per kios Rp 24,6 juta.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam waktu singkat, kios terjual. Pembeli membeli dengan cara mencicil. Namun belakangan aparat menyidik kasus pembangunan kios itu dan Mujono diproses secara hukum dan diadili.
Pada 3 Juli 2018, PN Yogyakarta memutuskan Mujono bersalah melakukan tindak pidana korupsi dan menjatuhkan hukuman 2,5 tahun penjara. Putusan ini dikuatkan di tingkat banding dan kasasi.
Mujono tidak pantang menyerah dan mengajukan PK. Apa kata majelis PK?
"Melepaskan Terpidana tersebut oleh karena itu dari segala tuntutan hukum (ontslag van alle rechtsvervolging)," kata ketua majelis PK, Sunarto, dalam putusan yang dilansir website-nya, Senin (31/1/2022).
Duduk sebagai anggota majelis M Askin dan Eddy Army. Apa alasan majelis PK melepaskan Mujono? Berikut ini pendapat MA:
Mujono membicarakan kepada saksi Suroto tentang pembangunan kios di atas tanah kas Desa Trimulyo seluas 7.700 m2, dengan pengelolaan sistem sewa untuk menjadi Pasar Desa sesuai dengan Peraturan Desa Nomor 9 Tahun 2012 tentang Pembangunan Pasar Desa Trimulyo.
Untuk keperluan tersebut, Suroto membentuk susunan panitia pembangunan kios dengan mengundang para Ketua RT dan para tokoh masyarakat di rumahnya untuk membahas rencana pembangunan kios untuk segera direalisasi dan mengurus segala dokumen persyaratan yang diperlukan. Dalam rapat tersebut, saksi Suroto terpilih sebagai Ketua Panitia Pelaksana Pembangunan Kios.
Mujono kemudian mengundang Panitia Pelaksana Pembangunan Kios menghadiri rapat di Balai Desa Trimulyo untuk mempertegas segera merealisir pembangunan kios di atas tanah kas Desa di Dukuh Kembangsono.
Meskipun anggaran pembangunan kios desa tidak dianggarkan dalam APBD, fakta hukum yang relevan sedemikian itu malahan menunjukkan dan membuktikan bahwa anggaran pembangunan kios desa itu sama sekali tidak dilaksanakan atas beban biaya Negara melalui APBD, atau APBN, atau Dana Alokasi Umum maupun Dana Alokasi Khusus.
Simak selengkapnya di halaman berikutnya.
Bahkan sebaliknya, justru anggaran site plan lokasi, desain teknis, pembersihan lahan, evaluasi biaya konstruksi yang dikerjakan tenaga kerja warga Dukuh Kembangsono, pengukuran dan revisi, malahan dikerjakan sendiri oleh saksi Suroto. Oleh karena itu, anggaran pembangunan kios disepakati berasal dari para warga yang berminat membeli kios seharga Rp 24.650.000 (Rp 24,6) juta per kios di luar biaya sambungan PLN dan PAM Desa.
Demikian juga belum ada izin lainnya dari Pemda DI Yogyakarta dan IMB dari Bupati Bantul. Ketiadaan perizinan itu hanya merupakan masalah administrasi dan keadaan sedemikian itu merupakan tanggung jawab Suroto dan tidak beralasan hukum dibebankan kepada Mujono.
Pada upacara peresmian dan penyerahan kunci kios pada tanggal 8 Desember 2012, panitia pembangunan melaporkan bahwa telah berhasil dibangun kios sebanyak 23 unit senilai Rp 555.100.000 (Rp 555 juta).
Bahwa jumlah kios seluruhnya yang berhasil dibangun adalah sebanyak 32 unit kios dengan total dana dari warga yang berminat membeli seluruhnya berjumlah sebesar Rp 788.800.000 (Rp 788 juta) yang terdiri atas 2 blok, yaitu satu blok terdiri atas 23 kios dan pada blok lainnya sebanyak 11 kios.
Meskipun Suroto tidak menyetorkan uang yang dikumpulkan dari warga yang berminat membeli kios desa, dan langsung digunakan untuk membeli bahan material bangunan, perbuatan Suroto sedemikian itu tidak merugikan keuangan Negara, karena uang setoran pemesanan kios tetap sebagai uang pribadi para pemesan kios.
Judex juris (kasasi) dan judex facti (PN dan pengadilan tinggi) ternyata lalai mempertimbangkan penerapan makna kerugian Negara sebagaimana dimaksud dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 25/PUU-XIV/2016 yang menyatakan:
Kata dapat dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan kata 'dapat' bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan mengikat.
Dengan demikian, tidak dapat dibenarkan lagi menggunakan kata dapat yang bermakna potential loss di depan kata kerugian negara.
Ternyata uang yang dikumpulkan Suroto untuk pembangunan kios belum pernah dimasukkan ke kas desa. Karena langsung digunakan untuk pembangunan kios sehingga tidak dapat dikatakan uang tersebut merupakan keuangan negara, karena status uang tersebut merupakan uang pribadi para pemesan kios yang dititipkan kepada Suroto.
Selain itu, terpidana telah pula secara resmi melakukan rapat tingkat desa antara saksi Sudaryanto sebagai Ketua BPD yang dihadiri tiap perangkat desa dan telah disepakati untuk diterbitkan Peraturan Desa tentang Alih Fungsi Tanah tersebut untuk pembangunan Pasar Desa di Desa Trimulyo.
Meskipun perbuatan Terpidana tersebut dapat dibuktikan namun perbuatan tersebut bukanlah suatu tindak pidana korupsi.