Anggota MPR dari Kelompok DPD RI, M. Syukur mempertanyakan kebijakan pemerintah perihal karantina massal bagi warga yang baru pulang dari luar negeri atau pelaku perjalanan luar negeri (PPLN). Dia menilai kebijakan tersebut masih perlu ditinjau kembali.
"Keresahan masyarakat muncul bukan saja karena biaya yang sangat mahal, tetapi dasar hukum yang dijadikan acuan sama sekali tidak sesuai dengan UU No.6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan," ujar Syukur dalam keterangannya, Selasa (25/1/2022).
Syukur menjelaskan prosedur kepulangan dari luar negeri telah melalui prosedur baku yang telah ditentukan oleh pejabat yang berwenang. Salah satunya, setiap warga negara yang pulang dari luar negeri harus dilengkapi dengan hasil negatif test PCR dari titik keberangkatan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Petugas di bandara semestinya telah melakukan verifikasi dan pengecekan dokumen tersebut. Kemudian, setelah dilakukan verifikasi dokumen, maka diwajibkan test PCR kembali untuk lebih meyakinkan," ungkapnya.
Syukur juga mempertanyakan aturan karantina wajib selama satu minggu di hotel bagi warga negara yang hasil tesnya negatif. Terutama, mengingat biaya paket karantina yang mahal karena penyelenggara karantina telah membuat paket secara komersial.
"Menurut saya, hal demikian justru tidak sesuai dengan tujuan kekarantinaan kesehatan. Yang mesti diperhatikan adalah apakah penyelenggaraan karantina di hotel itu dapat dibenarkan, mengingat hotel sama sekali tidak memiliki fasilitas kesehatan dan kekarantinaan sebagaimana diatur dalam UU No. 6 Tahun 2018," tandasnya.
Pertanyaan lain yang dilontarkan Syukur adalah apakah warga negara yang telah mengikuti karantina selama satu minggu dan hasil tesnya dinyatakan negatif berhak menuntut pengembalian biaya karantina yang telah dibayarkan atau tidak.
"Mengingat karantina tersebut bukan keinginan warga dan cenderung karena pemaksaan, apakah penyelenggara karantina bisa dikategorikan melakukan pelanggaran HAM?," tanyanya.
Sedangkan bagi warga negara yang tidak mampu membayar hotel diwajibkan mengikuti karantina di tempat yang telah ditentukan seperti Wisma Atlet dan rumah susun Kampung Melayu secara gratis.
"Kenyataannya, negara harus menanggung biaya yang sangat besar, lalu bagaimana mengauditnya," ujar Syukur.
Dia pun memberikan gambaran bahwa di Amerika Serikat saja, walaupun di setiap bandara di seluruh negara bagian AS jutaan orang datang silih berganti, pemerintah AS sama sekali tidak melaksanakan karantina terhadap pengunjung dan warga negara yang datang.
"Dalil yang mengatakan bahwa di Amerika terjadi peningkatan terpapar COVID-19 memang betul. Namun, jika dibuat rasio, masih jauh lebih kecil jumlahnya dibandingkan di Indonesia," pungkasnya.
(ncm/ega)