KPAI mencatat ada 5.953 kasus pelanggaran hak anak pada 2021. Jumlah kasus itu mengalami penurunan. Di antara 5.953 kasus itu, KPAI juga mencatat terdapat 859 kasus anak korban kekerasan seksual pada 2021.
Hal itu disampaikan Ketua KPAI Susanto bersama jajarannya dalam konferensi pers virtual, Senin (24/1/2022). Susanto menjelaskan, jika dibandingkan pada 2 tahun sebelumnya, kasus pelanggaran hak anak mengalami fluktuatif, misalnya pada 2019 kasus pelanggaran hak anak 4.369 kasus, sedangkan pada 2020 naik menjadi 6.519 kasus, tetapi pada 2021 mengalami penurunan menjadi 5.953 kasus.
"Dengan turunnya kasus di tahun 2021 ini tentu kita harapkan mudah-mudahan ini sebagai indikator baiknya upaya kemajuan perlindungan anak Indonesia," kata Susanto.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ada beberapa faktor yang menyebabkan turunnya kasus pelanggaran hak anak, di antaranya partisipasi publik, serta komitmen stakeholder terkait perlindungan anak, serta adanya kesadaran dari publik terkait perlindungan terhadap anak.
"Banyak faktor kenapa turun salah satunya partisipasi publik, stakeholder terkait perlindungan saat ini komitmennya semakin baik," imbuh Susanto.
Sementara itu, berdasarkan aduan masyarakat, KPAI mencatat kasus perlindungan anak sebanyak 2.982 kasus. Berdasarkan tren kasus kluster perlindungan khusus anak, didominasi 6 kasus tertinggi, yaitu anak korban kekerasan fisik dan atau psikis mencapai 1.138 kasus.
Kemudian KPAI mencatat 859 kasus anak korban kejahatan seksual, anak korban pornografi dan cybercrime berjumlah 345 kasus, anak korban perlakuan salah dan penelantaran mencapai 175 kasus, anak dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual berjumlah 147 kasus, dan keenam, anak berhadapan dengan hukum sebagai pelaku sebanyak 126 kasus.
Susanto mengatakan ada pergeseran tren pelaporan dalam masa pandemi COVID-19, yaitu sebagian besar pelaporan kasus kekerasan seksual yang masuk ke KPAI berasal dari online. Selain itu, Wakil Ketua KPAI Rita Pranawati menyebut penurunan kasus kekerasan seksual juga tidak menafikan faktor ketakutan korban kekerasan seksual untuk melakukan pengaduan, misalnya korban baru berani melapor setelah beberapa tahun kejadian kekerasan seksual yang dialaminya.
"Contoh di tahun 2021 70 persen pengaduan terkait anak korban kekerasan seksual itu 70 persen melalui pengaduan online, ini menunjukkan ada 2 kemungkinan, kemungkinan pertama karena memang situasi tahun 2021 masih ada pembatasan-pembatasan sehingga publik memilih untuk tidak melakukan pengaduan langsung ke KPAI, kedua karena kita menyediakan alternatif layanan pengaduan online yang memudahkan masyarakat," kata Susanto.
Sedangkan kasus kekerasan fisik dan psikis, anak korban penganiayaan mencapai 574 kasus, anak korban kekerasan psikis 515 kasus, anak korban pembunuhan 35 kasus, dan anak korban tawuran terdapat 14 kasus.
Susanto menerangkan KPAI mendapat aduan tertinggi kasus kejahatan seksual terhadap anak, di antaranya anak sebagai korban pencabulan sebanyak 536 kasus (62%), anak sebagai korban kekerasan seksual pemerkosaan/persetubuhan 285 kasus (33%), anak sebagai korban pencabulan sesama jenis 29 kasus (3%), dan anak sebagai korban kekerasan seksual pemerkosaan/persetubuhan sesama jenis 9 kasus (1%).
"Dilihat dari sisi pelaku, para pelaku yang melakukan kekerasan fisik dan/atau psikis terhadap korban, umumnya adalah orang yang dikenal oleh korban dan sebagian kecil tidak dikenal oleh korban. Pelaku cukup variatif, yaitu teman korban, tetangga, kenalan korban, orang tua, oknum pendidik, dan tenaga kependidikan di satuan pendidikan dan oknum aparat," ujar Susanto.
Sementara itu, dilihat dari penyebaran lokasi kasus, kekerasan fisik dan/atau psikis pada anak di Indonesia banyak terjadi di 5 provinsi di Indonesia, yaitu Provinsi Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Timur, Banten, dan Sumatera Utara.
"Adanya kasus anak menjadi korban kekerasan fisik dan/atau psikis di Indonesia dilatarbelakangi oleh beragam faktor. Di antaranya meliputi adanya pengaruh negatif teknologi dan informasi, permisifitas lingkungan sosial-budaya, lemahnya kualitas pengasuhan, kemiskinan keluarga, tingginya angka pengangguran, hingga kondisi perumahan atau tempat tinggal yang tidak ramah anak," ungkapnya.
Selain itu, KPAI menyoroti adanya kasus perundungan di media sosial yang sering terjadi. Anak juga rentan mengalami kasus kekerasan seksual secara online yang dapat menimbulkan trauma dan gangguan psikis.
KPAI juga mencatat, selama tiga tahun terakhir, angka pekerja anak mengalami peningkatan. Data tahun 2020, peningkatan pekerja anak terjadi di usia 10-12 tahun dan 10-14 tahun.
Maraknya eksploitasi ekonomi berkorelasi terhadap meningkatnya pekerjaan terburuk bagi anak (PBTA). Sedangkan terkait eksploitasi seksual dan TPPO menunjukkan fluktuasi jumlah dan kompleksitas kasus.
Wakil Ketua KPAI Rita Pranawati menuturkan KPAI mencatat 2.971 kasus pemenuhan hak anak. Diantaranya yang paling tinggi adalah kluster Lingkungan Keluarga dan Pengasuhan Alternatif sebanyak 2.281 kasus (76,8%), kluster Pendidikan, Pemanfaatan Waktu Luang, Kegiatan Budaya, dan Agama sebanyak 412 kasus (13,9%), kluster Kesehatan Dasar dan Kesejahteraan sebanyak 197 kasus (6,6%), dan kasus kluster Hak Sipil dan Kebebasan sebanyak 81 kasus (2,7%).
Adapun lima Provinsi terbanyak aduan kasus Pemenuhan Hak Anak meliputi DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Banten, dan Jawa Tengah.
"Kasus pada Klaster Lingkungan Keluarga dan pengasuhan alternatif memiliki jumlah kasus tertinggi sepanjang pengaduan KPAI dari tahun 2011. Pandemi COVID-19 sangat berdampak pada kondisi keluarga dan berefek domino pada pengasuhan anak," kata Rita.
Kasus-kasus yang diadukan di antaranya Anak Korban Pelarangan Akses Bertemu Orang Tua (492), Anak Korban Pengasuhan Bermasalah/Konflik Orang Tua/Keluarga (423), Anak Korban Pemenuhan Hak Nafkah (408), Anak Korban Pengasuhan Bermasalah (398), dan Anak Korban Perebutan Hak Kuasa Asuh (306).
Hasil Survei KPAI Masih Ada Siswa Ragu Divaksin COVID-19
Komisioner KPAI, Retno Listyarti mengungkap hasil pengawasan KPAI terhadap Pembelajaran Tatap Muka Terbatas (PTMT) dengan kategori sangat baik 15,28%, baik 44,44%, cukup 19,44%, kurang 11,12%, dan sangat kurang 9,72%.
"KPAI mendorong sekolah atau madrasah memenuhi seluruh syarat kebutuhan penyelenggaraan PTMT, ketaatan pada protokol kesehatan, ketercapaian vaksin mencapai minimal 70% bagi warga sekolah," kata Retno.
Selain itu, KPAI juga mendorong komitmen Kepala Daerah untuk menyelenggarakan PTMT jika positivity rate-nya di bawah 5%. Lebih lanjut, KPAI juga mengadvokasi vaksinasi COVID-19, KPAI memperjuangkan vaksinasi bagi setiap anak yang tidak memiliki NIK.
KPAI juga melakukan survei terkait 'Persepsi Peserta Didik Terkait Vaksinasi Anak Usia 12-17 Tahun'. Hasil survei itu ditemukan masih ada 9% anak yang ragu-ragu dan 3% responden menolak vaksin.
"Edukasi tentang pentingnya vaksin harus terus diupayakan," ungkap Retno.
Selain itu, KPAI mendorong perluasan capaian vaksin untuk semua anak khususnya usia 6-12 tahun dan menuntaskan dosis kedua untuk anak usia 12-17 tahun. KPAI mendorong agar pemerintah tetap meningkatkan kualitas pada layanan kesehatan dasar anak secara optimal, termasuk imunisasi dasar, pencegahan stunting, serta layanan ibu hamil dan melahirkan. Edukasi 5M dan 1V (vaksin), mitigasi pencegahan, mendampingi pelaksanaan 3T (tracing, tracking, testing), serta memperkuat strategi kebijakan pentahelix pada anak.
Selain itu, KPAI mendorong upaya untuk menurunkan angka perkawinan anak yang saat ini mencapai 10,35%. Retno mengatakan kejadian perkawinan anak tidak hanya mereka yang dimohonkan dispensasi kawin namun juga perkawinan yang tidak tercatat.
"Pemenuhan hak dasar anak seperti pendidikan, edukasi kepada orang tua menjadi kunci pencegahan perkawinan usia anak," ungkapnya.