Hari Pers Nasional, PWI Gelar FGD Bahas Kontroversi Terbitnya UU Minerba

Hari Pers Nasional, PWI Gelar FGD Bahas Kontroversi Terbitnya UU Minerba

Marlinda Oktavia Erwanti - detikNews
Kamis, 20 Jan 2022 11:14 WIB
FGD PWI terkait UU Minerba (Foto: dok PWI)
FGD PWI terkait UU Minerba (Foto: dok PWI)
Jakarta -

Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat menggelar focus group discussion (FGD) bidang energi dan pertambangan. FGD kali ini berfokus membahas kontroversi seputar terbitnya UU No 3 Tahun 2020, yang merupakan revisi dari UU No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba).

Diskusi yang melibatkan tujuh narasumber ahli itu terutama mengkaji perihal peran, kewenangan, dan hak pemerintah daerah yang dalam UU Minerba yang baru tidak lagi masuk dalam konteks penguasaan pertambangan minerba. Sebab, kewenangan itu telah ditarik sehingga tersentralisasi ke pemerintah pusat.

Tampil mengawali diskusi, Dirjen Minerba periode 2005-2008 Simon F Sembiring menyebut UU No 3 Tahun 2020 hasil revisi itu sebagai sebuah kemunduran. Menurutnya, tidak mungkin pengelolaan tambang dilakukan semua oleh pemerintah pusat.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Tidak mungkin pengelolaan sumber daya alam tambang dilakukan semua oleh pemerintah pusat. Itu omong kosong," ungkapnya melalui keterangan tertulis, Kamis (20/1/2022).

Simon mengatakan, dari hasil kajiannya, setidaknya ada delapan pasal terkait kewenangan dalam UU Minerba yang rancu. Salah satunya Pasal 6, yang menyatakan:

ADVERTISEMENT

(1) Pemerintah pusat dalam pengelolaan pertambangan mineral dan batu bara berwewenang:
f. Menetapkan wilayah pertambangan setelah ditentukan oleh pemerintah daerah provinsi sesuai dengan kewenangannya dan berkonsultasi dengan DPR RI.
t. Melakukan peningkatan kemampuan aparatur pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi dalam menyelenggarakan pengelolaan usaha pertambangan.

"Bunyi ayat 1 sub f dan sub t menunjukkan ada kewenangan pemerintah provinsi dalam mengelola usaha pertambangan yang telah dihapus pada Pasal 7 UU No 4 Tahun 2009. Hal itu menunjukkan UU No 3 Tahun 2020 ini tidak konsisten," kata Simon.

Simon melanjutkan kerancuan juga terdapat pada pasal lainnya. Salah satunya pada Pasal 8A, yang berbunyi:

(1) Menteri menetapkan rencana pengelolaan mineral dan batubara nasional secara sistematis, terpadu, terarah, menyeluruh, transparan, dan akuntabel.
(3) Rencana pengelolaan mineral dan batubara nasional sebagaimana disebut pada ayat (1) harus disesuaikan dengan:
d. Rencana pembangunan nasional,
e. Rencana pembangunan daerah.

"Hal itu menunjukkan ada ketergantungan pemerintah pusat (menteri) kepada pemerintah daerah. Artinya, kewenangan menteri harus tunduk pada rencana pembangunan daerah yang ditetapkan oleh pemerintah provinsi," ujar Simon seraya mengajak para pengambil keputusan untuk berpikir lebih jernih.

Simon Sembiring mengingatkan, kalaupun ada pelimpahan kewenangan dari pusat pada pemerintah provinsi, hal itu akan sangat rancu. Kenapa? Karena gubernur bukanlah bawahan menteri.

"Kalau dilanjutkan, menteri sebaiknya membentuk organisasi vertikal (kanwil), yang sejak UU Otonomi Daerah telah dibubarkan dan dilebur ke dalam dinas pertambangan provinsi maupun dinas pertambangan kabupaten," katanya.

Simon lalu menunjuk Pasal 4 dan Pasal 35 UU Minerba. Menurutnya, pasal tersebut tegas menyatakan semua perizinan usaha pertambangan berada di pemerintah pusat.

"Karena itu, saya menyarankan agar Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia mengkaji secara komprehensif UU Minerba No 3/2020. Pemerintah daerah sekarang harus proaktif. Jangan diam, karena Anda sedang dilucuti," cetusnya.

Menyambung diskusi, pakar hukum pertambangan Universitas Hasanuddin Makassar Abrar Saleng mengatakan UU Minerba yang baru membuat pemerintah daerah menjadi apatis pada kelestarian lingkungan. Dia mencontohkan, saat pengelolaan tambang mengancam lingkungan, bukan mustahil pemerintah daerah akan bersikap tak peduli.

"Itu bukan salah mereka. Mereka tidak memberi izin, tidak saling mengenal, lalu berharap ikut bertanggung jawab pada lingkungan di daerahnya? Sulit terjadi," ujar Abrar.

Abrar Saleng mengingatkan SDA tambang itu berlokasi di daerah. Mestinya, masyarakat yang dekat dengan SDA tambang harus lebih awal sejahtera, baru kemudian masyarakat yang jauh dari usaha pertambangan. Masyarakat daerah, menurutnya, juga harus sejahtera ketimbang hanya sebagai penerima dampak negatif dari usaha pertambangan.

"Selain itu, prioritas penggunaan tenaga kerja lokal harus menjadi regulasi, bukan sekadar imbauan. Sehingga, seharusnya pemerintah daerah menolak TKA yang akan bekerja di usaha pertambangan," kata Abrar.

Selain Simon dan Abrar, lima narasumber lain yang ikut berbagi pendapat dalam FGD kali ini adalah mantan Menteri Pertambangan Kuntoro Mangkusubroto, Ketua Umum Asosiasi Tambang Batuan Indonesia (ATBI) Probo Yuniar, Ketua Umum Asosiasi Penambang Rakyat Indonesia (APRI) Gatot Sugiharto, pakar hukum pertambangan Universitas Indonesia Tri Hayati dan koleganya dari Universitas Tarumanegara Ahmad Redi.

Diskusi terkait UU Minerba ini merupakan FGD sesi ke-3 yang digelar secara hybrid. Dua FGD sebelumnya mengkaji isu global antara lain terkait transisi energi dan perubahan iklim. Serial FGD ini merupakan kegiatan pra-seminar nasional dalam rangka memperingati Hari Pers Nasional (HPN) 2022 yang dipusatkan di Kendari, Sulawesi Tenggara, awal Februari nanti.

Simak Video: Hari Pers Nasional, Gibran: Sebarkan Virus Optimisme

[Gambas:Video 20detik]




(mae/fjp)



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads