Presiden Joko Widodo (Jokowi) membentuk bank tanah yang tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 133 Tahun 2021. Namun, menurut ahli tata negara Bivitri Susanti, seharusnya bank tanah tidak perlu diluncurkan terlebih dahulu karena ada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membekukan UU Cipta Kerja sebagai cantolan bank tanah.
"Saya memaknai putusan MK itu inkonstitusional bersyarat, artinya sampai 2023 UU Cipta Kerja tidak berlaku. Membeku saja dia. Sebenarnya MK tidak menginginkan UU ini diberlakukan. Tidak boleh ada PP baru dan kebijakan strategis," kata Bivitri Susanti dalam diskusi 'Visi Integritas Forum Indonesia Outlook 2022' yang disiarkan secara Zoom, Kamis (13/1/2022).
Putusan MK yang dimaksud adalah putusan MK yang diketok pada 26 November 2021. Berikut amar putusan MK soal UU Cipta Kerja:
1. Menyatakan permohonan Pemohon I dan Pemohon II tidak dapat diterima;
2. Mengabulkan permohonan Pemohon III, Pemohon IV, Pemohon V, dan Pemohon VI untuk sebagian;
3. Menyatakan pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai "tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan";
4. Menyatakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana yang telah ditentukan dalam putusan ini;
5. Memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan dan apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan maka Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) menjadi inkonstitusional secara permanen;
6. Menyatakan apabila dalam tenggang waktu 2 (dua) tahun pembentuk undang-undang tidak dapat menyelesaikan perbaikan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) maka undang-undang atau pasal-pasal atau materi muatan undang-undang yang telah dicabut atau diubah oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) dinyatakan berlaku kembali;
7. Menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573);
8. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;
9. Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya.
"Sekarang ini cukup banyak kebijakan oleh pemerintah, mumpung 2 tahun belum kelar. Akibatnya, ada bank tanah. Seharusnya nggak boleh," kata Bivitri.
Tantangan hukum pada 2022 lainnya adalah habisnya masa jabatan kepala daerah dan pemilunya digelar berbarengan pada 2024. Berikut jumlahnya:
Habis 2022
Sebanyak 76 bupati
Sebanyak 18 wali kota
Sebanyak 7 gubernur
Habis 2023
Sebanyak 38 wali kota
Sebanyak 115 bupati
Sebanyak 18 gubernur
Yang tidak kalah mengkhawatirkan, kata Bivitri, adalah penggunaan instrumen penegakan hukum untuk membungkam demokrasi.
"Hukum untuk tujuan stabilitas politik. Proses penegakan hukum untuk membungkam lawan politik dan kritik yang terlalu keras terhadap pemerintah," beber Bivitri.
Selain itu, pendekatan kejaksaan dalam restorative justice juga perlu disimak sepanjang setahun ke depan. Sebab, kejaksaan memiliki pemaknaan berbeda terhadap restorative justice.
"Kejaksaan ada pemahaman yang keliru, restorative justice dimaknai sebagai mediasi supaya angka penegakan hukum rendah. Dalam hak asasi manusia, restorative justice tujuannya untuk mengedepankan hak korban. Cara pandang ini masih keliru," cetus pengajar STHI Jantera itu.
Terakhir, MK dan Mahkamah Agung (MA) setahun ke depan menjadi tumpuan bagi masyarakat untuk mencari keadilan.
"Mahkamah Konstitusi masih akan dijadikan forum untuk mengatasi kebuntuan atau lamanya progres legislasi misalnya presidential threshold, UU Kejaksaan. Pengadilan-pengadilan di bawah Mahkamah Agung mungkin harus menghadapi beberapa perkara terkait dengan pelaksanaan UU Cipta Kerja," pungkas Bivitri.
(asp/zap)